Kamis, 20 Agustus 2009

peniup karang

Ombak memecah dikejauhan ketika Oriel meniup bunyi-bunyian senandungi pekik sang camar. Mungkin hanya sederet nada tak jelas meriuhi tingkah angin yang didengar orang, tetapi sayup juga tertangkap getar miris duka yang turut memecah dilarut samudera.

Duka itu memang sudah lama diendap dan digulir cerita seisi kampung. Kisah-kisah kehilangan yang barangkali sejenak usang ditutupi waktu tetapi setiap kali melihat Oriel dengan keong karang ditangannya orang-orang akan selalu teringat.

Barangkali memang cintalah yang dapat membawa duka sebegitu dalamnya pada lelaki separuh baya itu, sehingga walaupun bertahun sudah zaman meninggalkannya Oriel tetap menjejak di paruh waktu yang melulu sama.

Ning Mas Windu, nama itu lah yang senantiasa disangkutkan orang dengan Oriel. Tak lain dan tak bukan karena Ning Windu adalah istri Oriel yang sudah almarhum. Kematiannya sendiri tak ada yang tahu jelas selain terkaan mulut ke mulut bahwasanya wanita itu terkubur di kedalaman palung laut, seperti yang dituturkan Oriel sendiri.

Tragisnya kedalaman itu pulalah yang menguburkan hati Oriel jauh sehingga selalu terasa aura dingin di sekelilingnya. Satu-satunya wanita yang cukup dekat dengan kehidupan Oriel adalah Wening.

Wening sendiri adalah sahabat Oriel sewaktu kecil yang dalam jeda tahun berlampau lalu tak pernah tampak dalam kehidupan pernikahan Oriel. Wening hijrah mengikuti orangtuanya di daerah transmigran yang sangat bertolak belakang dengan tempat tinggal Wening kecil yang beraroma laut.

Jauh di daerah transmigran Wening menyesuaikan diri bercocok tanam membantu ayahnya. Di kaki Gunung Sitanggang itulah kadangkala Wening teringat akan Oriel dan laut. Dua anak kecil yang senantiasa berlari-lari di keemasan air yang ditimpa mentari.

Kematian orang tuanya membuat Wening kembali menelusuri jejak masa lalunya. Dan disinilah Wening disisi Oriel. Hampir delapan tahun sudah Wening singgah di kehidupan Oriel. Tahun berganti penduduk Desa Nelayan mengunjingkan, berprasangka dan mengamati bagaimana akhir kisah pria penuh luka itu dengan Wening, si gadis gunung.

Pernikahan.

Satu hal yang paling ditunggu untuk Oriel. Seluruh orang menyangka bahwasanya Oriel lah yang tidak menginginkan hal itu. Tetapi sesungguhnya setiap kali Oriel termenung sambil meniup karang,kali itulah bayang-bayang Ning Mas Windu dan Wening terasa lekat menyatu.

Yah Oriel mengingini Wening, seperti halnya dahulu Dia mengingini istrinya. Sebetulnya itulah fakta yang Wening dan Oriel sama-sama tahu. Wening pun mengingini dirinya, batinnya yakin.

Tahun berganti dan setiap tahun pula Oriel mencoba melamar Wening, tetapi...

Yah, alasan Wening tak diketahuinya. Hampir seperti buih ombak yang membuncah di samudera luas dihadapannya beribu alasan yang dikemukakannya dalam gelembung kata "Mengapa?", tidak jua bisa menjawab tanya itu. Sambil meniup karangnya setiap kali itu pulalah Dia mencari jawab.

"Mengapa?" itu tanyanya dahulu

"Karena Engkau bukanlah Oriel yang kuingini." jabar Wening sambil tersenyum pahit.

"Lalu Aku yang seperti apa yang kau ingini?" sahutku sambil menggebrak meja.

Dia mendekatiku tanpa jawab, mengambil karangku dari genggam tangan lalu menaruhnya dipasir dibawah kakiku. Dilesatkannya jemarinya menggitari buku-buku jemariku, kemudian Dia berjalan menjauh bersendirian.

Bayangan itulah tentang Wening yang tak terjabar. Hampir seperti kehilangan arah Aku mempertanyakan "tentang-ku",homonicious yang diingini Wening.

Hari ini tepat delapan tahun aku meniup terompet karang sambil memandangi lautan luas. Delapan tahun sejak Ning Mas Windu melarut dalam terumbu-terumbu karang pantai. Aku tak pernah lupa bagaimana badai malam itu menenggelamkan Ning Mas Windu yang menemaniku melaut.

Perahu cadik tempatku berpegang yang turut dihempas gelombang raksasa kemarahan lautlah yang telah menolongku. Masih teramat jelas bagaimana Ning Mas Windu menatapku dengan terengah-engah dengan nafas memburu satu-satu. Kadang kala Aku memimpikan turut larut dibuai gelombang mahadahsyat.

Khayalan itu dahulu sebagian yang kuingini,sebagiannya lagi bergaris dan bertakdir tentang Wening. Sambil melihat garis tipis yang merenda laut dan langit aku mengkhayalkan kedua khayalan itu sambil meniup karang. Garis tipis diantara laut dan langit semakin menyatu hingga serasa tak pernah jelas mengapa berangkulan, seperti juga tak jelas kenapa hanya dua khayalan itu yang kuingini.

Mataku kemudian kualihkan ke garis pantai dengan ombak yang menampar-nampar pasir disekelilingnya. Hari sudah malam ketika air semakin keras berderu menggolak pasir ketika kesadaran itu tiba seperti tamparan dahsyat dewa-dewa ataukah Ning Mas Windu padaku.

Yah, sekarang Aku tahu jawabnya. Sekonyong-konyong Aku berlari menghampiri rumah yang dihuni Wening. Kusibak pintunya yang tidak dikunci dan terlihat sosok Wening menutupi telinganya di kegelapan malam. Dia mengangkat mukanya dan mengarahkan bola matanya memandangiku.

Muncul dari kegelapan, tiba-tiba Aku memeluknya dan tanganku merangkul bahunya yang hergoyang hebat. Wening menangis, air matanya bercucuran laiknya ombak yang membuncah diluar sana.

"Akulah Oriel,mari kita pergi" jawabku tanpa Wening bertanya, sambil kutelusurkan jemariku menelusup jemarinya.

Selagi gelap merangkul kami, dihati kami timbul terang cahaya kesadaran, kekuatan baru yang mengalir ke hati.

"Sekarang kaulah seluruh kehidupanku." sahut Oriel sambil menyeret Wening bersegera pergi.

Yah itulah jawabnya. Oriel tanpa keong kerang masa lalu yang membungkus menemboki kisah masa depan kami lah yang sesungguhnya diingini Wening. Oriel yang dapat utuh menggenggam tangan Wening.

Hampir pagi ketika dua sosok manusia berjalan menembus subuh.

Di pagi dimana lautan beriak dengan tenang kisah Oriel hanya ditemukan dalam keong karang yang terletak disisi pantai dan turut hilangnya Wening. Tak seorang pun tahu jawabnya.