Jumat, 25 Juli 2008

pernikahan dalam selembar amplop

Mengapresiasi kehadiran sebagai sesuatu hal yang mutlak ada sebelum terjadinya perpisahan, merupakan suatu dan lain cara hukum sebab-akibat bekerja. Tak terkecuali dan juga tak terelakkan, begitulah kira-kira daya yang muncul seperti medan kutub magnet yang tarik-menarik.

Di awal bulan ini, beberapa acara resepsi pernikahan merebak mengunjugiku, bertamu dengan hanya selembar surat undangan di mejaku setelahku kerja dan kembali pulang ke rumah seperti ditodong untuk bersua dengan tetamuku tadi. Kehadiranku di setiap nuansa kebahagiaan pernikahan mempertontonkanku bahkan seperti yang digaung-gaungkan oleh tiap MC-nya bahwasanya inilah akhir penantian setiap pasangan, bersatu dan terikat dalam sakralitas Cinta dan Tuhan.

Paket-paket kecil itu menyajikan surga yang wah as usually tentunya.

Yang mengingat dan yang berlupa, mungkin itulah gambaran yang akan sangat tepat bilamana kabur jejak antara pertemuan dan perpisahan. Dalam suasana keriuhan seperti tidak ada yang sadar bahwa inilah detik-detik perjumpaan dan perpisahan merangkul erat. Orang tua harus rela kehilangan anak-anaknya untuk bersua dengan orang lainnya.

Satu dan lain cara yang dihimpun pun tidak bisa menghindarkan hukum yang bekerja. Beriringan, satu jalan.

Pernah suatu kali terpikir olehku dengan imajinasi fantasi bahwasanya warna undangan pernikahan yang rata-rata dipilih kemungkinan didominasi oleh warna merah ataukah putih dengan alasan adanya pertumpahan darah. Kelahiran baru, karakter baru.

Pertemuan dan perpisahan mengguratkan makna eksistensi kehadiran masing-masing dari kita. Meski demikian tidak semua orang lantas mengamininya. Seperti seorang anak kecil dengan manjanya kita tidak bersedia kehilangan hal-hal yang menurut kita menarik.

Tetapi apapun daya upaya kita semua berjalan seperti semestinya. Bentuk kesadaran itu pun kemudian ketika dikaitkan dengan sakralitas Cinta dan Tuhan seperti menemui jejaknya sendiri.

Pertemuan, Perpisahan, Cinta dan Tuhan menemukan kesadarannya dalam sakralitas rasa pahit-manis akan pemahaman kita masing-masing. Gambar realitas Pernikahan pun akhirnya menggabungkan semuanya akan jejak ke depan, sebuah jejak yang ketika dilangkahi pun masih penuh misteri.


"Kadang-kadang Tuhan mengirim surat cinta-Nya dalam amplop yang pinggirannya hitam. C.H. Spurgeon."

Rabu, 16 Juli 2008

only hopeless in pandora box

Sejatinya setiap kemenangan hampir selalu menaruh harapan yang jamak. Harapan itu bisa bermacam dalam rupa ataukah identifikasi kesuksesan, popularitas, kekayaan, ketenaran, kebanggaan, dll.

Membaca peluang akan harapan dan kemenangan yang dicari oleh setiap orang, maka tidaklah mengherankan bila dalam beberapa tahun belakangan bermunculanlah program-program layar kaca yang bermuara atau berakhir dengan persona individual “WINNER”.

Persaingan diatas pentas pada akhirnya melahirkan pesona drama baru. Setiap individu yang berlaga mencapai kemenangan itu menampilkan pentas akan makna pencapaiannya dengan berbagai sikap dan cara, dan tentu saja kemampuannya sesuai item konteks programnya.

Kontes kecantikan Miss Universe misalnya yang diusung 14 Juli 2008 lalu adalah salah satu contoh acara kontes dengan tema “Ratu Sejagat” yang awalnya merupakan cara Pacific Mills untuk mempromosikan produk pakaian renang Catalina mereka pada tahun 1952. Tidak banyak yang tahu,bukan? He8x. Pada tahun 1996, Donald Trump membeli hak kepemilikan kontes ini yang kemudian ditayangkan CBS dan pada 2003 beralih ke NBC.

Kontes kecantikan ini menaruh harapan yang prestisius akan makna kecantikan dari setiap negara, suku, budaya, dan harapan lainnya. Euforia pesta kontes ini yang walaupun banyak melahirkan pro dan kontra tetapi tidak dapat dipungkiri bahwasanya juga menaruh harapan dari setiap pemirsanya.

Kontes serupa seperti idol-idolan pun makin marak masuk dan menjarah, tidak hanya menjanjikan mimpi atau harapan yang jamak juga disertai eksklusivitas image yang ditiru.

Arti kemenangan kemudian bergeser yang pro dengan kontes tersebut menganggap itu sebagai kebenaran menyeluruh sedangkan yang kontra melihat hal tesebut sebagai hanya pertaruhan kanibal dengan pelbagai cara dan senjata.

Kontes kecantikan Miss Universe misal menuai komentar bahwasanya kontes tersebut seperti kontes persaingan boneka-bonekaan Barbie. Tapi dari komentar yang lainnya mengganggap kontes tersebut sebagai pertukaran untuk diperlihatkan ke mata dunia.

Ketika menulis blog ini seperti merenda garis tipis pro dan kontra menjadi bahan pemikiranku. Harus ada yang dipihak ketika menulis sebuah ide ataukah pemikiran. Tetapi kali ini benar-benar meragu.

Setiap kali menonton kontes-kontes serupa, Aku kemudian berpikir bahwasanya hampir setiap acara-acara tersebut akhirnya merupakan kesatuan harapan banyak orang yang bertumpu pada satu atau orang lainnya. Begitu langkanya kita untuk selalu menaruh harapan dan impian mempercayakan pada diri sendiri.

Mungkin hal inilah yang disimak program-program tersebut, sehingga sebuah kontes selalu memunculkan harapan, impian, dan tentu saja yang selalu diidam-idamkan dalam mimpi seorang/sesosok image bak pahlawan "Sang Pemenang".

Saya merasa cantik saat saya memikirkan bagian dalam diri saya. - Nelly Hayatghaib.

Bisa jadi kata-kata itu diciptakan Nelly ketika melihat dari layar kaca ratusan wanita melenggok diatas pentas dan turut merasakan dirinya hadir disana berjalan dengan daster diatas pentas, dan tetap merasa cantik, bahkan dia yang mendapatkan mahkotanya.

Yah, Harapan.

Bahwasanya Harapan yang merupakan satu-satunya yang tersisa dari kotak kecil Pandora adalah hanya satu-satunya jalan menuju Kemenangan. Kemenangan bagi diri sendiri. Impian bukan sekadar untuk digantungkan pada orang lain, tetapi seyogianya bertumpu pada diri sendiri. Merasa diri sendiri adalah Pahlawan dan Sang Pemenang.

Dan pada waktunya seperti kata-kata yang dituliskan Pliny the elder "Harapan adalah tiang yang menopang dunia. Harapan adalah mimpi orang-orang yang sedang tidak tidur.

Jangan pernah tertidur untuk terus mengurai harap dan mimpi menyaksikannya sebagai layar kaca kemenangan Anda pribadi dimana Anda ataupun Aku menjadi persona Winner bagi diri kita sendiri.

Jumat, 04 Juli 2008

still hurt but also still survive;to fight

Harian Pagi Fajar Makassar, Sabtu, 5 Juli 2008 pada halaman utamanya menurunkan topik berita dari belahan dunia lainnya, Perancis. Berita tersebut menyebutkan perihal pembebasan mantan calon Presiden Kolombia (2002.red), Ingrid Betancourt dari sekapan kawanan pemberontak Revolutionary Armed Forces of Colombia (FARC), setelah disandera selama 6.5 tahun.

Menguak jendela takdir dari jembatan yang penuh ketidakpastian, terbukti akhirnya memberikan kebebasan yang penuh, dengan napas lega setelah ditempa penuh keputusasaan. "Saat leher Anda dirantai, Anda hanya bisa menerima nasib tanpa melupakan siapa sebenarnya diri Anda. Saat itu, saya mencapai titik dimana saya memahami bahwa kematian adalah hal yang sangat mungkin." ucap wanita kelahiran 25 Desember 1961 itu.

Pada kolom tersebut juga dituliskan bagaimana Betancourt menggambarkan bahwa rasa sakit yang dirasakannya tak ubahnya sebagai serangkaian masalah yang saling bertumpuk. Dia mengaku tidak bisa menjaga diri hingga menjadi kurus, tidak bisa bergerak, dan tidak berdaya. Bahkan untuk minum pun kesulitan. Saat-saat itu digambarkan Ingrid sebagai situasi yang benar-benar kritis baginya.

Pemasungan kebebasan sebagai hak asasi mahluk Tuhan juga turut diurai pada harian yang sama, tetapi dari dalam negeri sendiri, Indonesia. Di wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, tepatnya di kabupaten Bulukumba, dua orang dari keluarga berbeda dipasung oleh keluarganya dengan alasan penyakit jiwa.

Satu perkara yang pelik bergumul dengan keadaan "membenarkan". Tapi pernahkah bertanya?Barangkali tidak. Pilihan dirasakan buntu tanpa jalan.

Kenangan yang sama pernah terurai dari ceritera salah seorang karibku. Kisahnya tentu saja tidaklah sama dengan story pemenjaraan kebebasan diatas. Tetapi barangkali punya persepsi yang sama yang dilakukan oleh banyak orang atas kehendak dan pilihan pribadi.

Cinta yang membutakan.

Aneh? Barangkali tidak lagi, karena pengalaman inilah yang subjektif dan vokal diantara kita.

Sungguh. Berjuta orang melakukannya terjebak dalam kenangan cinta masa lalunya, memasung kebebasan hatinya dengan selalu berkata 'tidak dapat melupakan cinta sejati yang didapatinya'. Tapi benarkah kata bodoh berlabel 'KESETIAAN' selalu benar? Pernahkah anda bertanya kalaulah SETIA kadang ciri perspektif yang salah?

Suatu hari di tengah malam, seorang karib saya bahkan menangis menyatakan betapa Dia setelah sekian lama tidak pernah dapat melupakan kekasih yang dicintainya. Sampai katanya dengan nada tertahan " mungkin dia itu berasal dari tulang rusuk saya". Dan akhir malam itu diakhirinya dengan sebuah sms berbunyi "still hurt but also still survive".

Rasa sakit pemasungan diri sendiri (baca: hati.red) itu justru berujung lebih tragis karena berefek seperti penenang, bius dan anestesi yang berbunyi "survive", bukannya "to fight".

Pada ujungnya ketika diperdebatkan tak penah salah, tetapi juga tidak betul-betul benar. Kebebasan kadang seperti imaji yang didamba tapi tak direngkuh terpatron pada berbagai tetek bengek, terikat pada hal-hal seperti luka hati, pekerjaan, dan pelbagai pergulatan lainnya dengan diri sendiri.

Pemasungan nyatanya menyedihkan dalam segala bentuk dan upayanya. Ini bukan lagi obat yang manjur tetapi luka yang dibiarkan membengkak dan tak pernah sembuh. Ingrid Betancourt, dua orang sakit jiwa di Bulukumba dan karibku mengalaminya sebagai kenangan yang mungkin terburuk sepanjang sejarah hidup mereka. Kebebasan mungkin satu-satunya betadine yang menyembuhkan.

Mari melakukan ritual fang shen, membebaskan segala hasrat dan keinginan dari diri sendiri hingga utuh. Hirup bebasnya.