Kamis, 30 Oktober 2008

architect, create your own life

"Di balik setiap permasalahan, pasti ada jalan keluar menuju pemecahannya."

Barangkali hanya kata itu yang selalu terpatri tapi tetap saja terasa jauh untuk menggapainya. Belenggu-belenggu masalah yang kompleks membuat kita sejenak lebih suka berputus asa sambil berkeluh kesah dibandingkan dengan berharap sambil tentu saja melakukan aksi yang nyata.

Kompas, Jumat, 11 Juli 2008 05:55 WIB
CALCUTTA, KAMIS - Sebuah bank di Kota Calcutta, India membuka sebuah rekening untuk seorang pengemis yang telah mendepositokan 91 kilogram koin di salah satu brankasnya. Laxmi, sang pengemis itu mengatakan bahwa dia telah mengumpulkan dan menyimpan koin tersebut saat dia mulai mengemis. Saat ini sudah lebih dari 40 tahun dia mengemis gara-gara polio yang diderita sejak masih kanak-kanak. "Saya menyimpannya untuk saat dimana saya sudah tidak bisa lagi mengemis," ujarnya kepada BBC. "Saya tahu suatu hari saya akan menua dan sakit-sakitan. Karena itu saya menyimpan seluruh uangku untuk masa pensiun. "Sekarang buah dari upayanya mengemis di perempatan jalan di Calcutta utara ini mewujud. "Dia bisa menjadi model contoh untuk membangkitkan semangat banyak orang dalam menabung," ujar TK Haldar, manajer Bank Central India cabang Maniktola.

Percontohan. Mungkin hal itu yang paling sulit untuk kita tiru menyangkut hal-hal baik dalam segala aspek hidup ini. Laxmi mungkin salah satu contoh positif bagaimana seseorang dalam masyarakat kelas bawah yang hampir sama dengan golongan kelas bawah lainnya di Indonesia ini, mengusahakan takdirnya tidak dengan berpangku tangan tetapi menjadi arsitek untuk segala rencana hidupnya.

Dengan jujur dan secara pribadi kekaguman saya membuat saya dapat mempredikatkannya sebagai 'pahlawan'. Pahlawan mungkin tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi bagi banyak orang lainnya di luar sana yang termotivasi atas tindakannya.

Tindakan arsitek juga turut digambarkan oleh Ibu Muslimah. Ibu Muslimah yang kukenal hanya dari tontonan layar bioskop "LASKAR PELANGI" menularkan agresivitas dan apresiasi kepada banyak orang diluar sana. Melalui tindakan nyatanya yang percaya pada keutuhan mimpinya di masa depan kepada hak setiap anak untuk mengenyam pendidikan Ibu Muslimah akhirnya dengan tulus ikhlas menyerahkan kehidupannya walaupun hanya sebagai seorang guru miskin.

"Tidak perlu orang jenius untuk menggantungkan bandul takdirnya" mungkin itulah kacamata yang dapat kulihat dari kedua wanita dari dua sudut dunia ini. Menjadi arsitek barangkali kata itulah yang setali menautkan dan entah aku dapatkan dari mana tetapi kata-kata selengkapnya berbunyi seperti ini :

"We create our own hell, we create our own heaven. We are the architect of our faith"

Memulai dari mana, entah. Tetapi bagi saya pribadi arsitek dimulai dengan sebuah perencanaan serta pondasi niat yang baik dan tulus. dan untuk sekarang kita arsiteknya. we are.....

Kamis, 23 Oktober 2008

Aku, Ibuku, Dia dan Sebentuk Gunting Kuku

Kisah ini berawal dari sebuah gunting kuku dan nasib malang dua orang wanita serta Aku. Namaku Slamet, nama yang tidak berarti apa-apa kecuali mungkin rasa bahagia kedua orang tuaku kala itu yang saking gembiranya karena anaknya yang sulung ternyata lahir dengan selamat, montok dan sehat walafiat serta yang paling menggirangkan bagi mereka karena Aku dilahirkan berjenis kelamin lelaki.

Budaya Patriarki kala itu dalam tradisi masyarakat pedesaan membuat sesajen berkah bergumul dari tangan-tangan lincah ibuku dan hasil panen yang kemudian dituai ayahku untuk dipersembahkan kepada Sang Dewata serta sanak kerabat.

Kelahiranku mungkin hal terbahagia sepanjang hidup Ibuku, karena setelahnya tidak ada lagi genangan tinggal di pembuahan rahimnya, entah karena kelelahan yang teramat sangat ataukah sebab-sebab lainnya. Yah, faktor kelelahan itulah yang sepanjang separuh perjalanan hidupku kurekam dengan sepasang mata dan telingaku.

Ayah dan Ibuku hanya seorang petani muda yang miskin yang ketika berhasrat menjadikanku seperti laiknya seorang pemuda kota yang makmur menjadikan tanah kami ditanami apa saja sesuai masa tanam dan suara beras di atas nyiru barangkali hampir tak pernah lepas kudengar dari awal subuh sampai matahari bergerak kembali ke peraduan.

Suara nyiru itu barangkalilah yang lebih sering kudengar bila dibandingkan dengan suara Ibuku sendiri. Bila suara nyiru itu menghilang mestilah Aku tahu kemana Ibuku berada. Kalau tidak bersiap di dapur mempersiapkan jajanan yang akan dibawanya keliling, pasti saja siap dengan luku dan cangkul membantu Ayahku di pematang sawah.

Kehidupan yang serba hemat kala itu apalagi dengan tidak menyewa pekerja untuk membantu kegiatan harian di sawah membuat pundi tabungan kami selalu lebih tersedia. Usaha warung pun dirujuk Ibuku dengan hampir tanpa lelah. Kegiatan pun diisi hampir sehari penuh dalam diam. Pagi dengan suara beras dan nyiru, siang diisi dengan suara orang bising di warung, sore dengan suara hening dimana di kejauhan sepasang orang berdiri dengan luku dan cangkulnya.

Tahun berganti dan kehidupan di desa menjadi tidak sama lagi. Impian yang terlalu tinggi akan kerlap kota membuat urbanisasi tak terelakkan. Sawah-sawah pun dijual dan inilah pertaruhan yang nantinya merupakan awal dari kehidupan keluarga kami. Ayahku membeli sawah-sawah tersebut dengan harga yang tentu saja lebih murah dari harga pasaran saat itu.

Sedikit demi sedikit hektaran luas tanah menjadi milik keluarga kami. Walaupun demikian Ayah dan Ibuku masih bersikap sesederhana dulu. Pekerjaan yang dulu Aku pikir hampir tak ada habisnya kini digenapi lebih dengan sekuat tenaga dan waktu.

Bertahun kemudian Keluarga kami menjadi salah seorang petani sukses di Desa. Impian untuk menyekolahkanku di Kota menjadi bukan sekadar mimpi muluk-muluk tetapi perwujudan nyata. Saat itu usiaku beranjak 18 tahun ketika Ayahku menyuruhku mengemas barang-barangku "Seminggu dari sekarang Engkau mestilah menjadi bagian dari pemuda-pemuda kota itu, Anakku" bisiknya kala itu.

Malam terakhir sebelum keberangkatanku kusempatkan diriku bermanja-manja di samping Ibuku. Aku duduk didekat dirinya yang sedang duduk serius menonton televisi dengan kedua tangannya sibuk memainkan ayaman ketupat satu persatu. Kuawasi dirinya dengan kulit legam terbakar mentari dan sinar kelelahan yang sayu di kedua bola matanya. Kuku jarinya menghitam tercampur tanah.

Saat itu dengan sedikit inisiatif kuhentikan gerakan tangannya yang menjahit ketupat-ketupat itu, kugenggam sebentar lalu kuambil gunting kuku dekat meja TV. Aku mematuk-matuk patah semua kukunya hingga rapi. Pekerjaan itu pun kulakukan dalam sedekap kediaman kami. Hampir selesai adanya ketika Ibuku berseloroh "Seperti kuku, ada kalanya sesuatu harus dilepas dari jemari kita seperti Aku merelakanmu lepas dan tumbuh menjadi pemuda yang baru."

Benda terakhir yang kuselipkan ke sampiran tasku sebelum keberangkatanku mungkin hanya sebentuk gunting kuku dan dua helai jemari kuku Ibuku yang terserak disebuah plastik pembungkus obat. Aku mengumpulkannya seketika untuk mengingatkanku betapa sebuah kuku berbau tanah desaku adalah mula awalku.

***

Tahun berganti dan hampir setiap tahun Aku merajuk ingin pulang, tetapi setiap kali selalu saja ada alasan yang diutarakan Ibuku. Komunikasi dengan Ayahku pun sudah amat jarang. Keinginanku untuk pulang selalu saja ditanggapi dengan nada "Tanyakan saja pada Ibumu".

Aku tak mendapat alasan yang jelas untuk setiap jeda kepulanganku. Tahun berganti sampai kelulusanku dan diterimanya Aku dengan bersegera menjadi PNS membuat hal ikhwal kepulanganku bergeser dari rencanaku.

Delapan tahun sudah mataku terbiasa dengan kendaraan yang berseliweran dan suara bising jalan hingga sejenak pun tak pernah singgah lagi segala tentang desaku. Kepulanganku sendiri tahun ini berawal dari hanya sebuah kesan singkat.

Pagi itu rekan sekerjaku yang gila mode iseng-iseng ditengah kegiatan kerjaku menyambangiku. Disodorkannya sebotol cairan berwarna biru dan berkata kepadaku "Bantuin kuteks donk". Aku membuka botolnya tetapi seketika mataku tertumbuk pada kuku-kuku jarinya yang tidak rata. Aku mengeluarkan sebentuk gunting kuku dari laci mejaku sambil berkata "Kurapihkan dulu yah, non."

Dianggukkannya kepalanya sambil sibuk menggigiti kuku tangannya yang satu lagi sambil bersemu malu. Dalam kediaman itulah pertama kali Aku ingat tentang Ibu, desa dan kepulanganku. Rencana itu tak kutunda lagi lebih lama.
***

Bau tanah menyergap napasku dan hijaunya pematang yang sungguh amat luas mengaburkanku tentang letak posisi rumahku kala itu. Aku mengira-ngira jengkalnya sampai Aku berhadapan dengan sebuah rumah yang tak lagi sederhana. Rumah yang dibangun dengan tembok-tembok yang amat tinggi tersebut membuatku sangsi sekaligus ragu.

Pintu kuketuk berkali-kali sampai seorang wanita muda dengan tubuh padat membukakanku. Sinar matanya yang licik mengawasiku dan senyumnya merekah kemudian. Dikedip-kedipkannya matanya berkali-kali lalu berkata "Anda cari siapa?"

Aku terdiam sambil mengira-ngira siapa wanita itu. Bermenit kemudian barulah kusebutkan nama Ayahku melengkapi pertanyaannya tadi. Dibukanya pintu itu lebih lebar sambil mempersilakanku masuk dan berceloteh tentang Ayahku dengan tangan menunjuk-nunjuk ke pematang sawah yang terentang.

Hampir malam ketika Ayahku pulang ke rumah. Dengan bersegera Aku menghampirinya dan mataku otomatis ingin menangkap sosok bayang Ibuku yang senantiasa berlindung dibalik punggung Ayahku. Tapi kali ini tidak ada sosok itu dibelakang punggungnya.

Ayahku tidak lagi berpakaian sederhana. Dia memakai pakaian khas mandor pedesaan. Aku menyapa Ayahku yang sebentar kemudian hampir terasa asing. Jeda kediaman kami mau tak mau membuatku mengalihkan pandanganku pada sosok wanita yang sejak tadi duduk mengawasi kami.

Kali ini wanita tadi tersenyum lebih lebar, sikapnya menjadi lebih manja hampir dibukanya mulutnya tetapi diurungkannya ketika dilihatnya seorang masuk dari pintu samping. Wanita yang satu itu hampir tak terurus, rambutnya digerayangi uban, kulitnya legam selegam bayangan, matanya tak dilirikkannya sampai suaraku memanggilnya "Ibu?" begitu sahutku.

Suaraku membuat kepalanya meneleng sedikit, kemudian dengan bergegas dia menghampiriku, mengerjap-ngerjapkan matanya seakan tak mempercayai pandangannya dan hampir tanpa suara menarik tanganku dengan keras sehingga kami, Ibu dan Anak berlalu dari ruangan itu. Aku sampai pada sebuah ruangan dengan ranjang besi didalamnya dan perabot sederhana dan lampu berwarna kuning ketika ditutupnya pintunya, dihampirinya Aku dan tanpa banyak kata sebuah tamparan singgah di pipiku.

"Aku tidak menyuruhmu untuk pulang" begitu sahutnya dengan nada tertahan. "Aku hanya rindu" sambungku dengan bingung. Dan seketika tangisnya meledak keluar. Dibelakanginya diriku dan disuruhnya Aku keluar.

Hari itu seluruhnya merupakan teka-teki sampai keesokan harinya tanpa sengaja kulihat Ayahku pagi itu keluar dari kamar lainnya, kamar wanita itu. Segera saja tanpa ucap pun Aku tahu peran wanita itu dalam keluarga kecil kami. Bak beras yang ditaburkan di atas nyiru itulah Ibuku dan wanita itu laiknya buah padi yang menguning dalam masa keemasannya untuk dituai.

Saat itu tamparan Ibuku tidak terasa lebih sakit daripada apa yang kuketahui sekarang. Keputusan Ibuku pun untuk tidak mengizinkanku pulang akhirnya terjawab sudah. Udara sejuk pagi desa menjadi sesak oleh bau semilir tubuh wanita itu yang merapat didekatku tatkala membukakanku pintu.

Kenyataannya diperjelas dari sepotong-sepotong cerita yang kuperoleh dari tetangga-tetanggaku. "Semenjak dahulu, Kecantikan dan kemudaan adalah senjata" begitu dengus nenek yang mengenalku semenjak kecil ketika hal itu kutanyakan.

Tidak lain motifnya juga turut diperkuat oleh keinginan Ayahku untuk memperoleh seorang anak lelaki lagi. Tetapi karena kehendak Sang Dewata lain lagi. Wanita itu tidak kunjung hamil juga walau malam demi malam Ayahku menghabiskannya di bilik kamarnya.

Tangisan Ibuku saat kepulanganku menjadikanku tahu bahwasanya tidak ada yang lebih indah untuk dirinya daripada seorang Aku yang selalu dilindungi dan dihindarkannya dari kepahitan. Kenyataannya rasa dendam akhirnya melingkupi kurung hatiku jua. Aku menyusun rencana laiknya sinetron untuk mengenyahkan wanita itu dari keluarga kecil kami.

Yah, kecantikan dan kemudaan adalah senjata dan diusiaku yang 26 tahun ini kudapati fisik yang sempurna. Otot kekar masih menyembul dari badanku, wajahku yang biasa saja dibaluti misteri kediaman Ibuku yang dominan membuatku tampan bagi sebagian orang, termasuk wanita itu.

Ketika Ayah dan Ibuku bergerak ke kehijauan sawah, mestilah wanita itu sibuk bergerak mendekatiku dengan segala daya tarik pesona yang dikira dimilikinya. Aku pun meladeni kemanjaannya dengan maksud tertentu. Aku bermaksud agar nantinya ia bisa kubujuk rayu ke kota meninggalkan Ayahku hingga sesampainya di kota Aku dapat saja dengan leluasa mencampakkannya.

"Kamu penuh pesona Met" begitu sahutnya suatu kali.

"Mengapa Engkau menikahi Ayahku" balasku penuh ingin tahu.

Dia cuman tersenyum manja sambil menggoyang-goyangkan matanya, "Karna Dia hanya lelaki" begitu jawabnya lalu tersenyum puas

Yah, lelaki yang dapat memenuhi kebutuhannya. Lelaki yang cukup kaya hingga Dia tak perlu turun ke sawah hingga kulitnya hitam legam. Aku berbalik benci pada kulitnya yang kuning langsat itu, pada mayang rambutnya yang tertata rapi disanggulnya, pada wajahnya yang halus ditaburi tepung bedak beras tanpa bintik keringat ditubuh.

Sekali pernah Ibuku memergokiku berduaan dengan wanita itu. Bersegera ditariknya Aku menjauh sambil menggumamkan dua kata "Wanita Iblis, wanita iblis" bisiknya lirih.

Satu persatu hari lewat sudah hingga suatu hari kuusulkan padanya untuk diam-diam menemaniku ke kota. Usul itu cukup menarik hatinya, tetapi setiap kali Dia melihat wanita lainnya yang penuh peluh sehabis bekerja di sawah Dia menggeleng sambil tersenyum pahit. Bukan kehidupan itu yang diinginkannya.

Kehabisan akal Aku menyiasati cara Dia menjauhi Ayahku. Sampai suatu peristiwa yang tak kuduga yang akhirnya memporak-porandakan hidup kami, meskipun harus kuakui Aku berhasil untuk rencanaku.

Jingga sore itu menutupi langit ketika Aku masih duduk di pojokan dengan Dia. Dengan sikap manjanya dia menggerak-gerakkan tangannya diudara. Gerakannya itu mengingatkanku pada tindakan Ibuku dahulu saat mengayam ketupat-ketupat jajanan. Tanpa disadari saat itu Aku menghentikan gerakan tangannya dengan menggenggamnya.

Dia melongo memandangiku saat itu, dari balik saku celana yang kukenakan saat itu Aku mengeluarkan sebentuk raut kuku yang dahulu kukenakan untuk mematahkan kuku jari Ibuku. Dengan perlahan kuraut satu demi satu kuku-kuku jarinya. Karna dikiranya tak ada orang saat itu dengan mesra Dia mengelus-ngelus anak rambutku manja.

Aku yang saat itu seperti terhempas ke masa lalu tidak menyadari segala di sekelilingku, hingga Ayahku masuk merenggut wanita itu dari sisiku, menampar dan menyeretnya masuk ke kamar. Aku hanya mendengar suara hebat Ayahku bergulat "Dasar pelacur" begitu geramnya dengan marah.

Begitu keluar dari kamar wanita itu segera disuruhnya Aku mengemas barang-barangku untuk secepatnya mengejar kereta malam itu kembali ke kota. Ibuku berdiri mematung saat itu, sekonyong-konyong menghampiriku lalu memelukku sambil menangis terisak.

Dimasukkannya jemarinya dalam genggaman tanganku sampai jari kami merasakan benda dingin ditengah telapak kami. Sebentuk gunting kuku. Aku menyerahkannya ke telapak tangannya sambil berbisik "seperti kuku, ada kalanya sesuatu harus dilepas dari jemari kita, dan Aku melepaskan segala beban resahmu pada wanita itu"

Ibuku menggeleng dan menangis sejadi-jadinya sambil berbisik pahit "Kalaupun Aku kehilangan cintaku pada Ayahmu, tak ingin kehilangan cahaya bahagiaku disisimu Anakku."

Sebentuk gunting kuku kini bergulir ditengah telapak tangan legamnya ketika Aku memasuki gerbong-gerbong kereta itu. Kereta bergerak menerabas dingin malam ketika wanita itu hilang di kejauhan.

Aku mengetahui kabar dari Desaku tidak lama kemudian. Wanita itu turut diusir juga dari rumah kami, Dia akhirnya kehilangan Ayahku. Ibuku kehilangan Aku, anaknya.

dan tentang Aku?

Aku kehilangan banyak waktu yang harusnya bisa kuanyam dengan Ibuku di latar desa dengan anak sungai sepanjang kasih Ibuku. Aku baru berani kembali bertahun-tahun kemudian ketika Ayahku memanggilku karna Ibuku menderita penyakit keras dan mengigau tiap malam memanggil-manggil namaku.

Di bunyi yang didengungkan surau subuh itu Aku kehilangan Ibuku akhirnya setelah bergelut sementara setelah Aku kembali disisinya. Benda terakhir yang kudapati di bawah bantalnya hanya sebentuk gunting kuku. Dan kembali kudengar suara Ibuku saat itu "Seperti kuku, ada kalanya sesuatu harus dilepas dari jemari kita seperti Aku merelakanmu lepas dan tumbuh menjadi pemuda yang baru."

Ini hanya kehendak Tuhan Aku bisa melewatinya, tapi Aku tak bisa melupakannya...

Rabu, 01 Oktober 2008

sepasang

sepasang mataku dibingkai sebuah kacamata,

membuatku awas akannya.


sepasang cuping hidungku

kupenuhi oksigen yang mengalir penuh

agar tak jua lelah.


sepasang daun telingaku mendengar lebih tajam

dan memberi aba ketika suatu hari engkau

bersiap melangkah pergi.


sepasang tanganku

tersiap 'tuk menarik diriku kelak.


sepasang kakiku tak kudobrak

agar terus maju namun siaga satunya

untuk kembali lindung menjejak mundur.


segalanya kusiapkan sepasang

lebih untuk kuasah

agar ku siap kala itu,

kala pelukku dan engkau berlalu.


Yang tak kutahu kala itu,

aku tak punya sepasang hati

tuk merelakanmu.