Rabu, 25 Juni 2008

sebuah kelahiran bernama kebahagiaan

Dari jalan-jalan menyusuri kota di malam yang panjang, sangat panjang. Lewat pukul 11 ketika mobil melaju menerobos malam. Dua orang di dalamnya terlena sepi, sampai salah seorang membuyarkan keheningan.

"Bagaimana malam ini? Apakah kamu bahagia?" jari-jarinya merengsek masuk di jemariku yang memegang kemudi setir mobil. Hampir seketika tanganku yang lengket basah karena keringat melamunkan fantasi bagaimana garis-garis ditangan kami menyatu bercinta dengan mesra dan seluruh pelepasannya adalah orgasme keringat tadi.

Kutatap balik dirinya. Selusur matanya yang sipit makin menyipit menunggu jawabanku. "Yah, kenapa tidak?" balasku sambil semakin meremas jemarinya lebih erat. Lebih banyak keringat kali ini.Arrrrghh....

Sejenak diam dan jemariku tetap bercinta hangat, ketika tiba-tiba tangannya dilepaskannya. Diambilnya tisu di hadapnya dan disekanya jemarinya. "Apa itu bahagia?" serunya sambil sibuk memainkan tisu, memilinnya hingga tak berbentuk.

Senyap semakin merengsek masuk melalui kaca mobilku, kutatap balik dirinya dan Aku terhempas pada kenangan pertemuan pertama kami. Pertemuan kami hanya sebuah perkenalan singkat dengan bahasa kasar perjodohan, dimana orangtua kami menjadikan kami bidak-bidak catur permainan bernama Hidup. Tapi kali ini bukan hidup mereka, tetapi Hidup kami.

Dari sekadar pertukaran nomor handphone, berlanjut ke hal-hal kecil yang juga orang lain lakukan semasa pacaran, ke bioskop, makan malam, dll. Pertemuan singkat kami akhirnya menjadikan kami lebih intens berhubungan dan akhirnya perjalanan kami hanya sebuah perjalanan yang aku pikir berbahasa kesamaan tanpa ikatan atau kata "Apakah kamu cinta aku?" atau "Apakah kamu mau menjadi pacarku?" Label perjodohan pada akhirnya membuatku merasa memilikinya tanpa perlu mengutarakan kata-kata itu.

Dan diperbatasan hari, hampir tengah malam pertanyaannya serasa membuatku terhenyak dan kembali membatin, bertanya "Apakah Dia bahagia?"

Kubuka mulutku berpacu dengan udara malam yang serasa ingin membekap mulutku dan kukoarkan jawaban. "Bahagia itu hanya sekadar skenario dimana kita menjadi pemeran utamanya."

Tisu ditangannya berhenti memilin dan tanpa diduga matanya berkaca-kaca sampai akhirnya terbentuklah sungai-sungai kecil di alur pipinya. Dari jarak yang tak sampai 30 cm Aku tak berani memperkecil jarak tadi dengan merengkuhnya dalam pelukku, laiknya film bernuansa romantis.

Sesuatu menahanku melakukan itu. Mungkin tak bisa melakukan itu semua karna tahu jarak itu bukanlah jarak yang dapat kuseberangi hanya dengan melangkah meraihnya. Suasananya seketika sendu dengan hanya ditemani suara kecil tangismu, kediamanku dan lagu berbahasa chinesse dari Ado berjudul "Hurt" melantun.

“Why Do You Hurt me so long?" begitu bunyi liriknya mendengung ketika Aku menghentikan mobilku tepat di depan pagar rumahmu. Kita masih diam.

Kuputuskan dengan sedikit keberanian tentu saja, mencondongkan kepalaku dekatmu, menyentuhkan garis bibirku sedikit bercinta dengan bibirmu dalam waktu yang tak sampai 30 detik. Kemudian menjauhkan wajahku dan berkata "Kau Bebas."

Engkau melangkah keluar dari mobilku, memunggungiku dan kali ini lebih banyak Air mata lagi di garis matamu. Air mata kebahagiaan, mungkin?

Lewat tengah malam ketika roda mobilku kembali berputar mendarat menggilas aspal, menyatakan seberapa banyak waktu yang telah Kita lewati bersama. Tapi kali ini Aku bersendirian.

Udara dingin dan sepi diluar. Lagu “Home” milik Michael Buble kuputar sambil mendendangkan lirik-liriknya bersendirian, feeling the same way like Buble. Maybe surrounded by a million people, I still feel all alone, I just wanna go home. I miss you, you know. I feel like I’m living someone else’s life. Another aeroplane, another sunny place, I’m lucky I know, but I just wanna go home. Let me go home. I’m just too far from where you are. I wanna come home.

Go home dan melegakan. Seperti melakukan tradisi Fang shen dalam tradisi Buddhis, yang ada hanya tak memiliki tetapi bahagia.

Jemari tanganku menggengam erat bercinta dengan kemudi setir mobilku, tapi kali ini tak ada keringat, hanya air mata yang setetes mengaliri pelupuk mataku, kuseka dengan jemariku, dan tanganku kembali basah. Oooops...

Senin, 23 Juni 2008

mencatat cacat dengan cat yang tak lagi pucat

Kami ditindas dalam segala hal, namun kami tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa" St. Paul

Helen Keller, Ludwig Van Beethoven, dan Ratna Indraswari Ibrahim mungkin saja tidak pernah bertatap muka. Dalam periode waktu yang berbeda, ketiga tokoh tersebut hanya dipersatukan oleh loncatan kuantum terbesar dalam sejarah hidup mereka masing-masing berupa 'kecacatan yang datangnya tiba-tiba'.

Helen Adams Keller mungkin tidak pernah menyangka dirinya yang lahir secara normal pada 27 Juni 1880 di suatu desa kecil di Nothwest Alabama, AS akan menjadi cacat. Tatkala menginjak usia 19 bulan Hellen jatuh sakit, penyakit yang kemudian diduga meningitis (namun sampai saat ini penyakit persisnya masih misterius) ini menyebabkannya kemudian kehilangan fungsi penglihatan dan pendengaran. Helen tumbuh menjadi seorang anak buta tuli, tumbuh sebagai anak yang sulit, dan temper tantrum.

Di bawah penanganan tepat dari gurunya, Anne Sulivan, yang juga memiliki cacat penglihatan jarak dekat, kekurangan-kekurangan Keller dapat teratasi. Ia dengan sangat mudah menangkap pelajaran yang diberikan, dan perkembangan kemajuan Keller yang sangat luar biasa menjadi buah bibir masyarakat. Ia dikenal sebagai penemu huruf Braille, metode membaca untuk orang buta. Hellen Keller adalah satu contoh konkrit anak cacat yang berbakat (handicapped gifted).

Helen Keller bukan satu-satunya orang yang mengalami kekagetan luar biasa saat mengalami kelumpuhan. Kisah yang sama turut menimpa Ludwig Van Beethoven, tokoh musik dan komponis jenius paling berpengaruh yang sukses merangkai sonata-simfoninya dengan komposisi instrumen.

Dibalik semua kesuksesannya dalam bermusik, Beethoven ternyata harus berjuang dengan penyakit pada pendengarannya yang mulai mengganggu dan pada tahun 1817 ia menjadi tuli sepenuhnya, yang membuatnya harus melepaskan karirnya sebagai pianis. Saat itulah ia meninggalkan Wina dan lebih banyak mengurung diri. Pada periode ini, Beethoven berhasil mencipta sebagian karya-karyanya yang terbesar.

Kisah patriotis kecacatan juga turut ditorehkan dari Tanah Air, Indonesia. Ratna Indraswari Ibrahim menuturkan cerita tentang dirinya dalam blog-nya dengan menyatakan demikian: "Saya mulai mengalami cacat tubuh pada usia sekitar 13 tahun, tapi prosesnya sejak saya berumur 10 tahun.” Tegasnya. Lebih lanjut Mbak Ratna menceritakan bahwa cacat tubuh yang menimpanya disebabkan oleh penyakit rachitis (radang tulang).

Maka tak heranlah, apabila Mbak Ratna punya foto dirinya ketika kondisi tubuhnya masih normal. Foto itu dipasang di kamarnya. Bahkan ada beberapa teman yang bercerita, ketika Mbak Ratna masih kecil dan tubuhnya belum cacat, punya hobi memanjat pohon seperti anak laki-laki. Ia anak yang amat dinamis. Nyatanya, Dia dapat menorehkan proses kreatifnya dalam mencipta ratusan cerpen dan buku dari atas kursi roda.

Merekam sejarah dan mencatatnya dari perspektif contoh ketiga tokoh tersebut membuat Aku berpikir bahwasanya ini bukan lagi tentang keterbatasan yang dikoar-koarkan atau malah digunakan sebagai senjata menarik simpati.

Ini tentang karya. Ini tentang pengalaman. Ini tentang kesederhanaan, penerimaan diri yang menyeluruh dan apa adanya. Ini tentang Hidup dan cara memaknainya.

Barangkali ini tentang semua catatan kecil yang akan Kita torehkan.

Catatan selama nafas masih dikehendaki menggelayut didada. Catatan pada siapa kita akan menceriterakan tentang diri kita di dunia. Mengenang kata bijak Eleanor Roosevelt : "Masa depan hanyalah milik orang-orang yang percaya pada keindahan mimpi-mimpi mereka."

Pada saat menulis blog ini Aku tidak hanya mencatat tetapi bermaksud menyebarkan catatan ini sebagai deskriptif dengan satu tujuan semata, yaitu menjadikan indah mimpi-mimpi buruk 'kecacatan', menjadikan kecacatan tak lagi gambaran pucat semata yang mengerus hidup tetapi pukulan telak bagi kita semua yang dianugerahi ke'normalan' raga.

Sebagai penutup izinkan saya mengutip kata-kata Si Buta Helen Keller sebagai permenungan kita semua, berikut :"Pabila Anda selalu menghadap ke matahari maka anda pun tidak akan melihat bayangan."

untuk Supriadi

Minggu, 22 Juni 2008

Bank Budi, jejaring pembayaran dimuka

Bank itu berisikan rekening-rekening bernama kontak. Ide cemerlang itu kubaca dari sebuah buku super berat karangan Paulo Coelho berjudul 'The Zahir'. Untuk kujelaskan kembali ataukah kalaulah perlu Aku kutipkan berikut pengalaman yang kubaca untuk kembali disebarkan ke tiap-tiap orang yang kebetulan ataukah secara sadar mengikuti blog saya ini.

Bank Budi, itulah nama bank yang diusung penulis, cukup untuk membuat kita bertanya lebih lanjut,eh? Bukan karna adanya karakter bernama Budi sampai penulis terlena turut ikut-ikutan menamai bank-nya Budi, he8x, tetapi karna kesungguhan untuk sesuatu yang seharusnya dicerna lebih.

Bank Budi dimana nasabahnya adalah orang-orang yang memerlukan bantuan adalah suatu bank yang menjaring nasabah tidak dengan asas "imbal balik", melainkan lebih mengutamakan pada asas kontak dan kepercayaan.

Keuntungan yang diperoleh pun hanya kontak dan kalaulah boleh dibilang balas budi dari orang yang menjadi nasabahnya. Cukup sederhana bukan?

Di sisi lain pasti ada saja yang bertanya bagaimana bila nasabah tersebut tidak ingin mengembalikan "budi" yang diterimanya. Penulis menjawab pertanyaan tersebut dengan menguraikan bahwasanya bila saja nasabah tersebut tidak melakukan hal itu, maka tentu saja Bank Budi tidak dapat melakukan sesuatu pun, tetapi tidak berarti nasabah tersebut tidak mengalami kerugian berarti, akan tetapi Dia akan kehilangan kepercayaan.

Yah, seperti itulah konsep Bank Budi, seperti mata rantai yang tidak pernah putus. Manakala nasabah tersebut merasakan "nikmat" dari Budi yang diterimanya, maka akan secara otomatis diteruskannya kepada satu dan lain orang, dengan harapan prospek investasi yang akan diterimanya dari orang-orang lainnya di masa depan.

Konsep mata rantai ini ditilik dari sifat beredarnya hampir sama dengan proyeksi cara MLM menjaring nasabahnya. Jejaring yang sama diperkenalkan juga oleh penulis asal Amerika, Catherine Ryan Hyde dengan mengusung novel yang kemudian difilmkan dengan judul "Pay It Forward".

MLM cinta demikianlah barangkali secara garis besar isi konsep dari novel Pay It Forward. Sosok Trevor McKinney yang berusia 11 tahun digambarkan sang penulis sebagai sang penemu 'ide untuk mengubah dunia'. Deskripsi ini jauh dari bayangan kita mungkin bahwasanya ide tersebut seharusnya lahir dari seorang sosok dewasa yang mempunyai kedalaman dan pengalaman dari pelbagai hal yang ditemuinya dalam kehidupan.

Belajar Kehidupan dan perubahannya menariknya disini diurai penulis dari kacamata pemahaman bocah 11 tahun. Ide untuk memberikan pertolongan kepada tiga orang disekeliling tanpa meminta imbalan, kecuali 'yang ditolong' memberikan pertolongan yang sama kepada tiga orang lainnya nyatanya menciptakan mata rantai yang panjang dan runtut.

Bank Budi ataupun Rangkaian Kebaikan menurut hemat saya adalah jalan sederhana yang hebat secara menyeluruh. Jalan sederhana yang diretas dengan langkah pelan tanpa beban melangkah setapak demi setapak hingga tak ada lagi tujuan akhir hanya ada awal.

Catherine Ryan Hyde ataupun Paulo Coelho menyebarkan virus pemahaman rangkaian dalam garis besar positif untuk dijangkau. Dalam rerangka untuk mengamalkan jejaring tersebut sebaiknya hiraukan kata 'investasi' yang mungkin ada.

Terpaku pada imbalan Investasi yang mungkin ada, itu pula yang mendorong Aku mau tak mau teringat pada Bunda Teresa, contoh konkret realitas Bank Budi. Bunda Teresa mungkin hanya segelintir orang yang memaknai dan sekaligus merupakan perwujudan nyata Bank Budi dalam kehidupan modern ini. Sedikit orang yang mengamalkan Bank Budi tanpa berpikir imbalan investasi tadi, tetapi lebih memaknainya sebagai 'sesuatu yang dilakukan dengan niat tulus'.

Oase sederhana dari Bank Budi dalam hidup yang tidak harus melulu mengenai investasi, tetapi mengenai kedalaman makna dan pemahaman, investasi yang punya nilai lebih besar barangkali hanya Rasa Puas dan Rasa Bahagia.

Dan untuk Andreas R.K, rekan kerja dan sahabat yang ngefans utamanya pada gadis tua keriput bernama Teresa kuposting blog ini. See you....

Jumat, 20 Juni 2008

shirayuki

selalu berbeda tatkala tak

ada yang mengerti dirimu.

selalu berbeda tatkala rahasiamu

tak dapat kau percayakan.

selalu berbeda bilamana mimpi-mimpimu

dianggap kegilaan fantasi.

dan akan selalu berbeda bila saja

Engkau mempunyai seorang sahabat

mengertimu, mempercayaimu, dan

mendukung kegilaan mimpimu.

Syair ini khusus kupersembahkan untuk sahabat-sahabatku yang selalu hadir dalam proyek Mahabesar Tuhan, bernama Hidup. Memenuhi tantangan seorang sahabat, judul posting kali ini memakai kata dalam bahasa Jepang "shirayuki" yang berarti putih salju.

Sebelum berbagai pertanyaan muncul, in my humble opinition korelasi antara shirayuki dengan syair di atas sekilas tak tampak. Tapi izinkan saya menelusur benang merahnya dengan beberapa kalimat singkat.

Shirayuki dengan makna putih salju, mungkin akan selalu berbeda dengan warna putih dalam segala bentuk transformasinya, tapi ketika digandengkan diantara warna-warni di alam semesta sepertinya tetap saja akan 'bersahabat' dan oleh karenanya masih akan digolongkan pada golongan warna Putih.

Persahabatan laiknya warna, walau terpecah dan terabsorbsi dalam segala bentuk transformasi dan ruang yang walau selalu berbeda akan ada satu asal, PERTEMUAN KEMBALI.

Senin, 16 Juni 2008

the world of study that i know

Miris.
Satu kata yang selalu disuarakan oleh pembaca berita di televisi atau diwartakan koran ataupun harian sangat mengena dan merangkum ironi dunia pendidikan saat ini.Sekonyong-konyong dalam waktu beberapa tahun ketika kita menoleh ke belakang dan melihat sejarah dunia pendidikan di negeri ini, Indonesia, bayang-bayang itu mengikat sejarah tersebut menjadikan bukan sebagai 'sesuatu yang telah lewat', melainkan 'keadaan berulang yang dilakoni'.

Lihat saja bagaimana ketika beberapa hari belakangan dunia pendidikan dikejutkan oleh berita bagaimana "seorang yang dikatakan terdidik" (dalam hal ini karena mengecap strata pendidikan) diwartakan telah melakukan tindakan anarkis.Berita yang dikoar-koarkan hari ini menyangkut sebuah geng basket putri di salah satu sekolah di Pati,Jawa Timur yang melakukan tindakan kekerasan.

Berbekal sebuah nama geng khasnya anak muda "NEROX" geng putri tersebut unjuk gigi mempertontonkan 'kehebatan'nya, dengan yah itu tadi falsafah baru yang tak layak ditiru "tanpa NEko-neko langsung ROyok."

Falsafah instan hasil terjemahan mereka itu turut membuat saya berimajinasi membandingkan dengan sebuah film cartoon yang baru saja diputar di bioskop-bioskop tanah air.Film bergenre humor dengan judul KUNGFU PANDA itu nyatanya lucu juga, terutama ketika Aku membayangkan bagaimana anggota-anggota geng NEROX akhirnya dijadikan sebagai pemeran-pemeran utamanya dimana hidup dan ekstentensi diri dibahasakan fight.

The New philosophy,eh?

Historitas bayang-bayang tersebut mungkin saja patron-patron kelabu produk masa lalu yang kembali dilakoni lagi, dan lagi.Kasus STPDN turut mengurai ceritera yang tidak jauh berbeda bagaimana sekolah dijadikan objek yang menjadi latar ketika 'layar diangkat dan disingkap' untuk dipertontonkan.

Melalui percakapan dengan seorang teman saya yang berprofesi sebagai seorang dosen muda Dia turut mengungkapkan berbagai permasalahan kompleks yang kronis, in serious condition di wilayah kampus tempatnya mengajar.Kualitas pendidikan tidak lagi dicorongkan sebagai murni khazanah ilmu tetapi lebih sebagai 'profesi yang menghasilkan'.

Seorang mahasiswa mengeluhkan bagaimana dosennya yang mengikuti kegiatan MLM turut berjualan dengan menyangkutpautkan pelajaran yang diajarkannya dengan jualannya.Berikut celotehan yang dilontarkannya kawan saya itu melalui chat ym :
"katanya ada tugas mau dikasih terus disuruh datang ke jalan apa gitu.Apa yg terjadi disana mereka disuruh dengar seminar MLM XXX ampe jam 12 malem, banyak mahasiswa yg nggak tahan lari pulang.Tahu apa yang dia buat?Absennya disilangin 2 kali.Ada yg memberanikan diri bertanya mau pulang terus dia bilang ini blum selese abis itu baru dia kasi tugas."

Bagian-bagian dari pengalaman pribadi saya selama masa-masa mengecap bangku pendidikan hampir sama baku-nya dengan pengalaman sebagian siswa/mahasiswa/i yang tunduk patuh menjadi budak dari nilai,angka yang terumus dalam ijazah ataupun laporan pendidikan lainnya.

Ironis ketika pendidik dan terdidik akhirnya menempatkan diri dan menandai wilayahnya masing-masing dengan cara yang berbeda.Dengan satu dan lain hal siswa menempatkan dirinya kadang sebagai pemberontak sedangkan pendidik sendiri berdiri dibawah bayang abu-abu yang takkan dapat disentuh.

Pemberontakan dalam menunjukkan jati diri, to fight akhirnya diterjemahkan salah oleh seseorang, sekelompok ataupun segelintir individu.Ambil contoh bagaimana mahasiswa/i kita mengecat dunia pendidikan kita dengan label DEMONSTRASI.Segala hal yang terjadi di negeri kita ini jujur saja tampak harus dipertanggung jawabkan lebih kepada mahasiswa/i daripada elite negara.

Fiuh,Miris dan itulah yang terjadi ketika dunia pendidikan kita akhirnya diwarnai oleh berbagai warna pada wajahnya menampilkan topeng-topeng yang sebagian besar termarjin dipenuhi kecacatan.

Dan pada akhirnya ketika aku bertanya apa saja syarat menjadi pendidik kepada kawanku yang dosen tadi berikut ini jawaban yang dicetuskannya : "kamu harus benar2 jujur, punya kemampuan untuk belajar dan mengajar....kerelaan untuk berbagi sama org ilmu yg kamu punya..bukan dgn cara2 rendahan."

Titik temu dari semua jawabannya tadi akhirnya merumuskan bagaimana obat yang kira-kira diperlukan oleh dunia pendidikan kita ini, Kejujuran dan Kerelaan yang bermuara pada kesimpulan Tulus Mencintai.

Hubungannya?

Ya.Dunia pendidikan kita butuh individu-individu yang punya ketulusan untuk mencintai ilmu sebagai sesuatu yang murni, tanpa motivasi apapun juga.Individu yang belajar mencintai ilmu seperti seorang anak kecil yang selalu dihantui rasa ingin tahu.Dan mungkin saja topeng ini akan dilakonkan dengan baik ketika seorang pendidik ataupun terdidik mulai berani berkata dengan polosnya Siapalah saya untuk menilai kamu?

Jujur mengakui dan tulus mencinta, eh?

Selasa, 10 Juni 2008

180 degree's

180?

Ketika merujuk pada angka yang memiliki asosiasi tautan makna derajat, bengkokan, perubahan besar laiknya busur panah yang ditarik melengkung, itulah yang beberapa waktu yang lalu diutarakan sahabatku. Pemikirannya bahwasanya ada yang tidak dia kenal dari diriku, changes.

Peringatannya itu secara otomatis langsung memaku alam bawah sadarku pada sebuah lagu yang berkesan punya ketukan yang sama dengan pernyataannya. Liriknya dinyanyikan seperti ini : "kaki dikepala, kepala di kaki..."

Aku kemudian bercermin dan menatap bayangan diri yang jauh sejenak persis sama seperti Aku di hari-hari sebelumnya. Dan apakah yang berubah? Mengamati dengan lebih seksama lagi dan lagi.... dan dengan keras kepala berkata, masih sama tak ada yang berubah. Bahkan melalui meditasi hening sejenak dengan musik melantun ditelinga jua tak menemukan apa yang berbeda.

Dengan bersegera mencari topik alasan membenarkan diri bahwasanya memang tidak ada yang berubah, apalagi bila dikatakan berubahnya sampai pada derajat ke-180. Gelisah, bingung dan mencari sampai ke akar perubahan, tetapi bukankah ada pepatah "balok di depan mata sulit dilihat, tetapi gajah di seberang sana dijangkau lihat jua"

Mungkin sedetik lalu berubah?semenit lalu?berbulan?setahun?bertahun-tahun?

entahlah....

Tidak menang atau kalah dalam pertaruhan dengan kata-kata teman saya itu, hanya tak tahu, gelisah mengikut sejenak dan kemudian mencorat-coret kertas secara serampangan dengan objek angka 180 berulang-ulang.

Apa yang kutemukan memang impulsif ditemukan secara nalar, tetapi akhirnya kutemukan secara tak sengaja saja ketika kulakukan ritual corat-coret tadi. Coba bayangkan atau lakukan apa yang kutemukan waktu itu. Ambillah kertas dan tuliskan angka 180 tadi, kemudian balik angka itu ke derajat 180.



Yup. Inilah hasilnya bilangan 180 tadi menjadi terefleksi ke angka 081. Merefleksi? yah akan seperti begitu juga perubahan, tidak statis tapi juga tidak pernah benar-benar liquid. Sadar ataukah tidak perubahan yang bergerak seperti air punya sifat yang terpaku seperti bilangan-bilangan 1,8 ataupun 0 yang juga ketika dibalik setengah putaran akan kembali ke asal.

Dan ketika kawanku tadi berkata aku "berubah", maka mungkin yang dimaksudkannya adalah titik dimana aku kembali ke asal atau kembali terefleksi, seperti bayangan cermin. Hanya butuh penyesuaian untuk mengenali dualitas ataukah multi "Aku" itu. Semoga saja demikian.

Kamis, 05 Juni 2008

dan sayangnya benar cinta

sayangnya benar cinta
bahkan walau seringkali pikir membiasakan diri berkata tidak benar, hati berdetak yakin apa adanya.

sayangnya benar cinta,
meski jua tanpa bisikan halus di telaga kupingku kutemukan bisikan halus di desir jiwaku mendengung dengan melodi panjang pendek ruang batinku.

benar cinta sayang,
juga tatkala tatapku terbaris kosong karna jiwaku terperangkap kangen pada selusur hitam bola matamu, lekat.

sayangnya benar cinta,
walau kujelajahi dunia, napasku akan kembali dan melesat, diam dan berburu, bertukar dan menangkap, selaras.

sayangnya benar-benar cinta,
karna walau sejauh apapun aku melangkah, jauh mengitari semesta tetap saja bergantung tanya kenapa aku harus pergi sejauh ini untuk menemukan diriku tanpa dirimu.

cinta benar sayangnya,
dengan apapun tak terkatakan bilamana dirimu melekat di persendian, meraga, hingga tak tahu apakah kita ini saling menumpang ataukah satu berdamai.

sayangnya benar cinta,
dan bahkan ketika seorang berkata kepada yang lain hati-hati dengan hatimu, raga dan jiwaku mengetuk dengan kesadaran sederhana tentangmu.

hati-hati dengan hatimu, tapi
sayangnya benar cinta.

Selasa, 03 Juni 2008

my artist God is Superhero

Semerbak harum hio menyeruak masuk ke jendelaku pagi itu bercampur dengan hawa dingin subuh pagi itu. Adzan menggantung damai di udara, menyanyikan bahasa-bahasa aneh bin ajaib tapi tak jua terasa asing. Bilik sebelah Ibu sedang menyenandungkan doa syafaat meracau dengan berbagai permohonan, yang harusnya bisa dibisikkannya saja tanpa bunyi.

Subuh hampir selalu dibuka dengan kesibukan doa. Awalnya Nenek yang bangun awal pasti saja bersegera membuka pintu balkon menuju teras menyalakan hio bersedekap ke langit dan akhirnya turun ke halaman dimuka rumah melakukan ritual jalan paginya. Menyusul Nenek, suara adzan bersahutan berlomba dengan asap dupa hio nenek dibawa angin semilir subuh. Dan akhirnya ditutup oleh Ibu yang bersegera bangun dan mulai menyenandungkan doa syafaatnya.

Keluargaku memang multikompleks dalam hal agama dan oleh karenanya pembicaraan mengenai agama seperti disembunyikan dalam keyakinan anggota keluarga kami masing-masing. Nenekku yang masih menganut Agama Buddha, "paham lama dan sesat" begitu kata ibuku dahulu sambil berbisik, sedangkan Ibuku seorang penganut Kristen yang taat.

Ketaatan Ibu yang kalaulah dapat dikatakan terlalu fanatik membuatku kadang heran dan bertanya-tanya mengapa Ibu akhirnya mau dipersunting oleh Ayah yang mempunyai keyakinan Katolik. Nenekku hanya mendengus ketika Aku menanyakan itu sambil menjawab "terlalu yakin kadang membuatmu terlempar pada ketidakyakinan". Jawaban itu nyatanya tidak pernah dapat menjelaskan jawaban pertanyaanku.

Keluargaku yang multikompleks dalam hal kepercayaan pada akhirnya mempunyai kesepakatan yang sama dalam hal mengurai jawaban ketika Aku yang baru menginjak usia 8 tahun bertanya tentang keberadaan Tuhan. "Dimana Tuhan itu?" begitu tukasku dalam rasa ingin tahu. Ayah, Ibu dan Nenek selalu menunjuk ke arah yang sama dengan telunjuknya menggaris ke atas langit dan menguraikan bahwasanya Tuhan ada nun jauh melewati langit.

Sepolos usiaku kala itu akhirnya tersimpan dalam khayalku bahwasanya Tuhan itu seperti pahlawan hero kesayanganku, ultraman, yang selalu muncul dari balik awan-awan di bilur langit. Khayalanku bertambah dengan fantasi yang lebih berwarna ketika tahu Tuhan-nya Nenek bernama Buddha lain dengan Tuhan-nya Ibu yang bernama Jesus.

Tarik menarik itu semakin bertambah ketika satu persatu agama kuurutkan dan tahu bahwa Tuhan dalam agama lainnya juga bernama lain. Dalam suara mesjid dekat rumahku Nenek berkata bahwa Tuhan disana disebut Allah (baca: Awwah.red). Melalui kalender berwarna merah dengan tulisan Nyepi, Aku tahu agama Hindu dengan 3 Tuhan bernama Trimurti : Syiwa, Brahma dan Wisnu.

Akhirnya seperti barisan pahlawan hero power rangers kuurutkan Tuhan-Tuhan itu di luar langit. Buddha, Jesus, Allah, Syiwa dan kawan-kawannya menjejer dalam benak fantasiku semuanya dalam tampang biasa saja tetapi kutambahkan dengan bayangan-bayangan mistik kepunyaan mereka masing-masing.

Bagaikan punya fans sendiri Aku pun membayangkan bahwa ketika Nenek membakar hio sambil mengucap doa itu berarti Nenek fans sama Buddha, begitu pun dengan Ibu yang ngefans sama Jesus dan orang-orang yang menyuarakan adzan yang ngefans sama Allah.

Pikiran itu muncul ketika Aku dibawa Nenek ke Vihara ketika Hari Raya Waisak. Berjubel orang mengerumuni bangunan dengan patung seseorang yang duduk bersila yang disebut Nenek, Buddha. Tidak jauh berbeda dengan Ibu yang membawaku ke Gereja ketika Natal tiba dan mesjid dekat rumahku yang sesak padat oleh kerumunan orang.

Transformasi imajinasi yang tinggi menyebabkan Aku berkhayal bahwasanya pada Hari Raya Waisak, seperti pada acara-acara kontes idol-idolan Buddha lah yang keluar jadi pemenangnya. Jesus, Allah dan Trimurti harus kalah saing kalau boleh sarkatis, gigit jari melihat Sang Pemenang. Berimbang di hari raya lainnya Tuhan yang lain lah yang menjadi The Winner dan begitu seterusnya.

Beranjak dewasa fantasi-fantasi serupa kadang menyeruak di benak meski sebagai bahan lelucon saja. Ketika masalah sedang berlangsung dalam kehidupanku Tuhan-Tuhan tersebut muncul satu persatu untuk kudoakan berharap beroleh jalan. Keyakinan yang kupijak saat ini lebih menyerupai sebagai kewajiban untuk suatu prosedur formulir-formulir yang akan mengiringi hidupku.

Tanpa perlu dikatakan objek pujaanku kadang seperti fantasi ku semasa kecil masih bergurat seperti wajah-wajah power rangers yang memecahkan masalah-masalahku. Dan seperti anggota-anggota keluargaku lainnya masalah kepercayaan ini akhirnya kusembunyikan sebagai bagian dari wilayah pribadi.

Tak mengerti mengapa, kadang merasa lucu ketika orang-orang diluar sana berkoar-koar meributkan objek pujaannya. Membayangkan Tuhan seperti membayangkan sesosok artis dimana orang-orang menjadi fansnya dengan keyakinan menggebu-gebu. Sungguh tragis ketika Artis yang diasosiasikan dengan bermacam nama yang sesungguhnya satu sebutan Tuhan, dijadikan alat untuk membenarkan segala tindakan bernuansa anarkis dan separatis atau nuansa negatif lainnya.

Dan sebagai bahan pembelajaran di kompleks keluargaku yang menganut agama multikompleks pula, laiknya asap hio yang membumbung tinggi dimesra udara, ibarat bunyi adzan kala subuh dan suara doa Ibu yang akhirnya berpeluk mesra pada udara yang sama dengan hio nenek, begitu pula lah akhirnya keyakinan satu dan mesra, damai dalam diam tanpa embel-embel saya dan kamu.

Minggu, 01 Juni 2008

empty god

Perwujudan Tuhan dengan segala tingkahnya menjadi wacana yang cukup seru untuk Aku dan kawan-kawan seperkuliahanku bahas malam kemarin. Topik itu mencuat seiring kisahku tentang kawanku yang beberapa waktu lalu saling berdebat dengan Aku. Melalui percakapan lewat telepon Aku dan Kawanku yang satu ini, (dalam hal ini seorang wanita.red) bercengkrama dan akhirnya percakapan terdorong lebih banyak pada arus yang mengetengahkan Tuhan.

Curahan hatipun kulakukan pada kawan-kawan sekuliahanku yang menanyakan bagaimana kondisi hubunganku dengan kawan wanitaku, apakah menunjukkan suatu perkembangan signifikan,dll. Pertanyaan itu kumentahkan dengan menyebut kawanku tadi terlalu banyak terpaku pada Tuhan sebagai Pusat, kalaulah tak boleh dibilang bias dan fanatik.

Berganti dominasi percakapan kemudian digilir oleh kawan-kawanku yang awam membicarakan tentang Tuhan dari segala sudut pandang mereka masing-masing. Dengan agak tercengang nyatanya pembahasan yang dikulik oleh orang-orang awam ini membuahkan suatu pemikiran yang lumayan cerdas dan brilian.

Berkat dan kutuk, anugerah dan musibah itulah yang selalu dihubungkan dengan kualitas Sang Pencipta. Pelbagai sifat Sang Allah itu ditunjukkan dan dibuat dengan historitas dan penyesuaian terhadap alam pikir manusia. Ke-Allah an yang seharusnya utuh menjadi terpecah dalam diri tiap-tiap insan. Bagaikan mengalami brain wash Tuhan dicitrakan dan dibudayakan sejak kita kecil hingga mengalami tahap kedewasaan.

Pembentukan citra Tuhan tidak pelak lagi akhirnya mengalami resiko pembenturan dengan berbagai nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Ambil contoh nilai Tradisi yang dianut umat Buddhis dan sebagian kalangan mengenai penghargaan terhadap leluhur dengan melakukan sembahyang menggunakan hio, dilihat dari kacamata agama tertentu kadangkala dianggap sebagai ritus penyembahan berhala.

Sulit memijak di garis mana sesuatu itu diabsahkan benar atau tidak, kala sesuatu menyangkut nilai yang berlaku dalam masyarakat. Tetapi secara garis besar, terus terang kaum awam ini tidak hanya menggunakan secuil otaknya untuk membedah agama akan tetapi menguliknya dari sisi pengalaman dan nurani.

Penuturan salah seorang kawanku merangkum pernyataan Tuhan dalam bahasa yang sederhana namun kompleks dalam kata. "Tuhan itu Abstrak" bunyinya. "Menomorsatukan Tuhan bisa jadi hal yang benar atau salah tergantung dari sisi mana kita memandang. Bagi saya, lanjutnya lagi, menomorsatukan keluarga atau orang-orang di sekeliling kita adalah langkah utama memaknai Tuhan, bukan dengan menomorsatukan Tuhan itu sendiri."

"Mengapa demikian?" tanyaku seketika.

"Ketika Aku ataupun kamu menghormati, menghargai dan menunjukkan cinta kasih kepada orang-orang disekeliling, sesuatu yang tersentuh atau tergenggam, maka itu lebih nyata, realistis ketimbang menomorsatukan sesuatu yang tidak pernah Aku ataupun Kamu tahu keberadaannya. Melakukan hal-hal bertema positif terhadap sesuatu yang ada disekitar yang wujudnya ada, faktual lebih dan lebih, pada ujungnya menunjukkan bahwasanya kita dapat melakukan hal yang sama terhadap sesuatu yang kita tak pernah lihat atau genggam yang kita asosiasikan bersama dan diberi label 'Tuhan'."

Ramai meributkan soal agama temanku yang laen berceloteh bahwasanya Tuhan bukan sesuatu untuk diperebutkan kebenarannya. Agama dan Tuhan kadangkala hanya dapat dijadikan penolong dan pencerah jiwa sesuatu yang disebutnya demikian "Buddha dalam hati, hati nurani".

Akhirnya kembali terhadap insan individu ketika Tuhan dan Agama dibasiskan menjadi satu kebenaran yang nyata tak pernah Ada dan hanya terangkum seperti kata kawan-kawan saya Tuhan itu abstrak, tak terlihat, tak tergenggam juga tak bisa dibahasakan, kadang terasa khayal tapi terkadang nyata adanya, hati nurani.

Dan untuk kalian semua kuposting artikel ini, Tuhan-Tuhan kecil dalam hidupku yang ketika kusatukan dari serakan pribadi masing-masing jua tak pernah utuh. Sekarang tak benar tahu ada tidaknya Tuhan dalam hidup tapi bukankah hidup itu proses dan sampai menutup mata Tuhan adalah proses PENCARIAN....