Minggu, 14 Desember 2008

harapan sebuah malam

tidurkan aku dipelukmu,
agar senantiasa kudengar suara langkahmu
memasuki mimpiku

Jumat, 14 November 2008

engkau

sudahkah Engkau terbahak menertawai kegilaan fantasiku,
ataukah terkekeh karna aku menghamba pada Tuhan yang salah?

Katamu Tuhan itu jauh sangat,
tapi aku menemukannya sangat dekat padaku.

Dia ada diantara berpasang bola matamu,
mengawasiku hingga Aku menggelepar dalam ketiadaan.

dan jawabmu Tuhan seperti angin tak berlengan, berkaki, lagi tak berindera

Tergoda untuk menyelidik pada pusat semestaku, Tuhanku.

Engkau berlengan, berindera lagi berkaki,
tetapi tatkala Engkau jauh direnta zaman dan diuap angin melayang menjadi roh,
Aku kemudian menemukan jawab ini.

Rohmu tak berlengan tapi senantiasa merengkuhku dalam hangat,

tak berkaki tapi senantiasa selangkah dihadapku menghantuiku lewat isyarat yang ditangkap inderaku.

Lagi tak berindera karena segenap inderaku yang berpasang menjadi satu denganmu.

Aku punya Tuhan yang salah, rasa Cinta yang tak bermaksud.

Kamis, 30 Oktober 2008

architect, create your own life

"Di balik setiap permasalahan, pasti ada jalan keluar menuju pemecahannya."

Barangkali hanya kata itu yang selalu terpatri tapi tetap saja terasa jauh untuk menggapainya. Belenggu-belenggu masalah yang kompleks membuat kita sejenak lebih suka berputus asa sambil berkeluh kesah dibandingkan dengan berharap sambil tentu saja melakukan aksi yang nyata.

Kompas, Jumat, 11 Juli 2008 05:55 WIB
CALCUTTA, KAMIS - Sebuah bank di Kota Calcutta, India membuka sebuah rekening untuk seorang pengemis yang telah mendepositokan 91 kilogram koin di salah satu brankasnya. Laxmi, sang pengemis itu mengatakan bahwa dia telah mengumpulkan dan menyimpan koin tersebut saat dia mulai mengemis. Saat ini sudah lebih dari 40 tahun dia mengemis gara-gara polio yang diderita sejak masih kanak-kanak. "Saya menyimpannya untuk saat dimana saya sudah tidak bisa lagi mengemis," ujarnya kepada BBC. "Saya tahu suatu hari saya akan menua dan sakit-sakitan. Karena itu saya menyimpan seluruh uangku untuk masa pensiun. "Sekarang buah dari upayanya mengemis di perempatan jalan di Calcutta utara ini mewujud. "Dia bisa menjadi model contoh untuk membangkitkan semangat banyak orang dalam menabung," ujar TK Haldar, manajer Bank Central India cabang Maniktola.

Percontohan. Mungkin hal itu yang paling sulit untuk kita tiru menyangkut hal-hal baik dalam segala aspek hidup ini. Laxmi mungkin salah satu contoh positif bagaimana seseorang dalam masyarakat kelas bawah yang hampir sama dengan golongan kelas bawah lainnya di Indonesia ini, mengusahakan takdirnya tidak dengan berpangku tangan tetapi menjadi arsitek untuk segala rencana hidupnya.

Dengan jujur dan secara pribadi kekaguman saya membuat saya dapat mempredikatkannya sebagai 'pahlawan'. Pahlawan mungkin tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi bagi banyak orang lainnya di luar sana yang termotivasi atas tindakannya.

Tindakan arsitek juga turut digambarkan oleh Ibu Muslimah. Ibu Muslimah yang kukenal hanya dari tontonan layar bioskop "LASKAR PELANGI" menularkan agresivitas dan apresiasi kepada banyak orang diluar sana. Melalui tindakan nyatanya yang percaya pada keutuhan mimpinya di masa depan kepada hak setiap anak untuk mengenyam pendidikan Ibu Muslimah akhirnya dengan tulus ikhlas menyerahkan kehidupannya walaupun hanya sebagai seorang guru miskin.

"Tidak perlu orang jenius untuk menggantungkan bandul takdirnya" mungkin itulah kacamata yang dapat kulihat dari kedua wanita dari dua sudut dunia ini. Menjadi arsitek barangkali kata itulah yang setali menautkan dan entah aku dapatkan dari mana tetapi kata-kata selengkapnya berbunyi seperti ini :

"We create our own hell, we create our own heaven. We are the architect of our faith"

Memulai dari mana, entah. Tetapi bagi saya pribadi arsitek dimulai dengan sebuah perencanaan serta pondasi niat yang baik dan tulus. dan untuk sekarang kita arsiteknya. we are.....

Kamis, 23 Oktober 2008

Aku, Ibuku, Dia dan Sebentuk Gunting Kuku

Kisah ini berawal dari sebuah gunting kuku dan nasib malang dua orang wanita serta Aku. Namaku Slamet, nama yang tidak berarti apa-apa kecuali mungkin rasa bahagia kedua orang tuaku kala itu yang saking gembiranya karena anaknya yang sulung ternyata lahir dengan selamat, montok dan sehat walafiat serta yang paling menggirangkan bagi mereka karena Aku dilahirkan berjenis kelamin lelaki.

Budaya Patriarki kala itu dalam tradisi masyarakat pedesaan membuat sesajen berkah bergumul dari tangan-tangan lincah ibuku dan hasil panen yang kemudian dituai ayahku untuk dipersembahkan kepada Sang Dewata serta sanak kerabat.

Kelahiranku mungkin hal terbahagia sepanjang hidup Ibuku, karena setelahnya tidak ada lagi genangan tinggal di pembuahan rahimnya, entah karena kelelahan yang teramat sangat ataukah sebab-sebab lainnya. Yah, faktor kelelahan itulah yang sepanjang separuh perjalanan hidupku kurekam dengan sepasang mata dan telingaku.

Ayah dan Ibuku hanya seorang petani muda yang miskin yang ketika berhasrat menjadikanku seperti laiknya seorang pemuda kota yang makmur menjadikan tanah kami ditanami apa saja sesuai masa tanam dan suara beras di atas nyiru barangkali hampir tak pernah lepas kudengar dari awal subuh sampai matahari bergerak kembali ke peraduan.

Suara nyiru itu barangkalilah yang lebih sering kudengar bila dibandingkan dengan suara Ibuku sendiri. Bila suara nyiru itu menghilang mestilah Aku tahu kemana Ibuku berada. Kalau tidak bersiap di dapur mempersiapkan jajanan yang akan dibawanya keliling, pasti saja siap dengan luku dan cangkul membantu Ayahku di pematang sawah.

Kehidupan yang serba hemat kala itu apalagi dengan tidak menyewa pekerja untuk membantu kegiatan harian di sawah membuat pundi tabungan kami selalu lebih tersedia. Usaha warung pun dirujuk Ibuku dengan hampir tanpa lelah. Kegiatan pun diisi hampir sehari penuh dalam diam. Pagi dengan suara beras dan nyiru, siang diisi dengan suara orang bising di warung, sore dengan suara hening dimana di kejauhan sepasang orang berdiri dengan luku dan cangkulnya.

Tahun berganti dan kehidupan di desa menjadi tidak sama lagi. Impian yang terlalu tinggi akan kerlap kota membuat urbanisasi tak terelakkan. Sawah-sawah pun dijual dan inilah pertaruhan yang nantinya merupakan awal dari kehidupan keluarga kami. Ayahku membeli sawah-sawah tersebut dengan harga yang tentu saja lebih murah dari harga pasaran saat itu.

Sedikit demi sedikit hektaran luas tanah menjadi milik keluarga kami. Walaupun demikian Ayah dan Ibuku masih bersikap sesederhana dulu. Pekerjaan yang dulu Aku pikir hampir tak ada habisnya kini digenapi lebih dengan sekuat tenaga dan waktu.

Bertahun kemudian Keluarga kami menjadi salah seorang petani sukses di Desa. Impian untuk menyekolahkanku di Kota menjadi bukan sekadar mimpi muluk-muluk tetapi perwujudan nyata. Saat itu usiaku beranjak 18 tahun ketika Ayahku menyuruhku mengemas barang-barangku "Seminggu dari sekarang Engkau mestilah menjadi bagian dari pemuda-pemuda kota itu, Anakku" bisiknya kala itu.

Malam terakhir sebelum keberangkatanku kusempatkan diriku bermanja-manja di samping Ibuku. Aku duduk didekat dirinya yang sedang duduk serius menonton televisi dengan kedua tangannya sibuk memainkan ayaman ketupat satu persatu. Kuawasi dirinya dengan kulit legam terbakar mentari dan sinar kelelahan yang sayu di kedua bola matanya. Kuku jarinya menghitam tercampur tanah.

Saat itu dengan sedikit inisiatif kuhentikan gerakan tangannya yang menjahit ketupat-ketupat itu, kugenggam sebentar lalu kuambil gunting kuku dekat meja TV. Aku mematuk-matuk patah semua kukunya hingga rapi. Pekerjaan itu pun kulakukan dalam sedekap kediaman kami. Hampir selesai adanya ketika Ibuku berseloroh "Seperti kuku, ada kalanya sesuatu harus dilepas dari jemari kita seperti Aku merelakanmu lepas dan tumbuh menjadi pemuda yang baru."

Benda terakhir yang kuselipkan ke sampiran tasku sebelum keberangkatanku mungkin hanya sebentuk gunting kuku dan dua helai jemari kuku Ibuku yang terserak disebuah plastik pembungkus obat. Aku mengumpulkannya seketika untuk mengingatkanku betapa sebuah kuku berbau tanah desaku adalah mula awalku.

***

Tahun berganti dan hampir setiap tahun Aku merajuk ingin pulang, tetapi setiap kali selalu saja ada alasan yang diutarakan Ibuku. Komunikasi dengan Ayahku pun sudah amat jarang. Keinginanku untuk pulang selalu saja ditanggapi dengan nada "Tanyakan saja pada Ibumu".

Aku tak mendapat alasan yang jelas untuk setiap jeda kepulanganku. Tahun berganti sampai kelulusanku dan diterimanya Aku dengan bersegera menjadi PNS membuat hal ikhwal kepulanganku bergeser dari rencanaku.

Delapan tahun sudah mataku terbiasa dengan kendaraan yang berseliweran dan suara bising jalan hingga sejenak pun tak pernah singgah lagi segala tentang desaku. Kepulanganku sendiri tahun ini berawal dari hanya sebuah kesan singkat.

Pagi itu rekan sekerjaku yang gila mode iseng-iseng ditengah kegiatan kerjaku menyambangiku. Disodorkannya sebotol cairan berwarna biru dan berkata kepadaku "Bantuin kuteks donk". Aku membuka botolnya tetapi seketika mataku tertumbuk pada kuku-kuku jarinya yang tidak rata. Aku mengeluarkan sebentuk gunting kuku dari laci mejaku sambil berkata "Kurapihkan dulu yah, non."

Dianggukkannya kepalanya sambil sibuk menggigiti kuku tangannya yang satu lagi sambil bersemu malu. Dalam kediaman itulah pertama kali Aku ingat tentang Ibu, desa dan kepulanganku. Rencana itu tak kutunda lagi lebih lama.
***

Bau tanah menyergap napasku dan hijaunya pematang yang sungguh amat luas mengaburkanku tentang letak posisi rumahku kala itu. Aku mengira-ngira jengkalnya sampai Aku berhadapan dengan sebuah rumah yang tak lagi sederhana. Rumah yang dibangun dengan tembok-tembok yang amat tinggi tersebut membuatku sangsi sekaligus ragu.

Pintu kuketuk berkali-kali sampai seorang wanita muda dengan tubuh padat membukakanku. Sinar matanya yang licik mengawasiku dan senyumnya merekah kemudian. Dikedip-kedipkannya matanya berkali-kali lalu berkata "Anda cari siapa?"

Aku terdiam sambil mengira-ngira siapa wanita itu. Bermenit kemudian barulah kusebutkan nama Ayahku melengkapi pertanyaannya tadi. Dibukanya pintu itu lebih lebar sambil mempersilakanku masuk dan berceloteh tentang Ayahku dengan tangan menunjuk-nunjuk ke pematang sawah yang terentang.

Hampir malam ketika Ayahku pulang ke rumah. Dengan bersegera Aku menghampirinya dan mataku otomatis ingin menangkap sosok bayang Ibuku yang senantiasa berlindung dibalik punggung Ayahku. Tapi kali ini tidak ada sosok itu dibelakang punggungnya.

Ayahku tidak lagi berpakaian sederhana. Dia memakai pakaian khas mandor pedesaan. Aku menyapa Ayahku yang sebentar kemudian hampir terasa asing. Jeda kediaman kami mau tak mau membuatku mengalihkan pandanganku pada sosok wanita yang sejak tadi duduk mengawasi kami.

Kali ini wanita tadi tersenyum lebih lebar, sikapnya menjadi lebih manja hampir dibukanya mulutnya tetapi diurungkannya ketika dilihatnya seorang masuk dari pintu samping. Wanita yang satu itu hampir tak terurus, rambutnya digerayangi uban, kulitnya legam selegam bayangan, matanya tak dilirikkannya sampai suaraku memanggilnya "Ibu?" begitu sahutku.

Suaraku membuat kepalanya meneleng sedikit, kemudian dengan bergegas dia menghampiriku, mengerjap-ngerjapkan matanya seakan tak mempercayai pandangannya dan hampir tanpa suara menarik tanganku dengan keras sehingga kami, Ibu dan Anak berlalu dari ruangan itu. Aku sampai pada sebuah ruangan dengan ranjang besi didalamnya dan perabot sederhana dan lampu berwarna kuning ketika ditutupnya pintunya, dihampirinya Aku dan tanpa banyak kata sebuah tamparan singgah di pipiku.

"Aku tidak menyuruhmu untuk pulang" begitu sahutnya dengan nada tertahan. "Aku hanya rindu" sambungku dengan bingung. Dan seketika tangisnya meledak keluar. Dibelakanginya diriku dan disuruhnya Aku keluar.

Hari itu seluruhnya merupakan teka-teki sampai keesokan harinya tanpa sengaja kulihat Ayahku pagi itu keluar dari kamar lainnya, kamar wanita itu. Segera saja tanpa ucap pun Aku tahu peran wanita itu dalam keluarga kecil kami. Bak beras yang ditaburkan di atas nyiru itulah Ibuku dan wanita itu laiknya buah padi yang menguning dalam masa keemasannya untuk dituai.

Saat itu tamparan Ibuku tidak terasa lebih sakit daripada apa yang kuketahui sekarang. Keputusan Ibuku pun untuk tidak mengizinkanku pulang akhirnya terjawab sudah. Udara sejuk pagi desa menjadi sesak oleh bau semilir tubuh wanita itu yang merapat didekatku tatkala membukakanku pintu.

Kenyataannya diperjelas dari sepotong-sepotong cerita yang kuperoleh dari tetangga-tetanggaku. "Semenjak dahulu, Kecantikan dan kemudaan adalah senjata" begitu dengus nenek yang mengenalku semenjak kecil ketika hal itu kutanyakan.

Tidak lain motifnya juga turut diperkuat oleh keinginan Ayahku untuk memperoleh seorang anak lelaki lagi. Tetapi karena kehendak Sang Dewata lain lagi. Wanita itu tidak kunjung hamil juga walau malam demi malam Ayahku menghabiskannya di bilik kamarnya.

Tangisan Ibuku saat kepulanganku menjadikanku tahu bahwasanya tidak ada yang lebih indah untuk dirinya daripada seorang Aku yang selalu dilindungi dan dihindarkannya dari kepahitan. Kenyataannya rasa dendam akhirnya melingkupi kurung hatiku jua. Aku menyusun rencana laiknya sinetron untuk mengenyahkan wanita itu dari keluarga kecil kami.

Yah, kecantikan dan kemudaan adalah senjata dan diusiaku yang 26 tahun ini kudapati fisik yang sempurna. Otot kekar masih menyembul dari badanku, wajahku yang biasa saja dibaluti misteri kediaman Ibuku yang dominan membuatku tampan bagi sebagian orang, termasuk wanita itu.

Ketika Ayah dan Ibuku bergerak ke kehijauan sawah, mestilah wanita itu sibuk bergerak mendekatiku dengan segala daya tarik pesona yang dikira dimilikinya. Aku pun meladeni kemanjaannya dengan maksud tertentu. Aku bermaksud agar nantinya ia bisa kubujuk rayu ke kota meninggalkan Ayahku hingga sesampainya di kota Aku dapat saja dengan leluasa mencampakkannya.

"Kamu penuh pesona Met" begitu sahutnya suatu kali.

"Mengapa Engkau menikahi Ayahku" balasku penuh ingin tahu.

Dia cuman tersenyum manja sambil menggoyang-goyangkan matanya, "Karna Dia hanya lelaki" begitu jawabnya lalu tersenyum puas

Yah, lelaki yang dapat memenuhi kebutuhannya. Lelaki yang cukup kaya hingga Dia tak perlu turun ke sawah hingga kulitnya hitam legam. Aku berbalik benci pada kulitnya yang kuning langsat itu, pada mayang rambutnya yang tertata rapi disanggulnya, pada wajahnya yang halus ditaburi tepung bedak beras tanpa bintik keringat ditubuh.

Sekali pernah Ibuku memergokiku berduaan dengan wanita itu. Bersegera ditariknya Aku menjauh sambil menggumamkan dua kata "Wanita Iblis, wanita iblis" bisiknya lirih.

Satu persatu hari lewat sudah hingga suatu hari kuusulkan padanya untuk diam-diam menemaniku ke kota. Usul itu cukup menarik hatinya, tetapi setiap kali Dia melihat wanita lainnya yang penuh peluh sehabis bekerja di sawah Dia menggeleng sambil tersenyum pahit. Bukan kehidupan itu yang diinginkannya.

Kehabisan akal Aku menyiasati cara Dia menjauhi Ayahku. Sampai suatu peristiwa yang tak kuduga yang akhirnya memporak-porandakan hidup kami, meskipun harus kuakui Aku berhasil untuk rencanaku.

Jingga sore itu menutupi langit ketika Aku masih duduk di pojokan dengan Dia. Dengan sikap manjanya dia menggerak-gerakkan tangannya diudara. Gerakannya itu mengingatkanku pada tindakan Ibuku dahulu saat mengayam ketupat-ketupat jajanan. Tanpa disadari saat itu Aku menghentikan gerakan tangannya dengan menggenggamnya.

Dia melongo memandangiku saat itu, dari balik saku celana yang kukenakan saat itu Aku mengeluarkan sebentuk raut kuku yang dahulu kukenakan untuk mematahkan kuku jari Ibuku. Dengan perlahan kuraut satu demi satu kuku-kuku jarinya. Karna dikiranya tak ada orang saat itu dengan mesra Dia mengelus-ngelus anak rambutku manja.

Aku yang saat itu seperti terhempas ke masa lalu tidak menyadari segala di sekelilingku, hingga Ayahku masuk merenggut wanita itu dari sisiku, menampar dan menyeretnya masuk ke kamar. Aku hanya mendengar suara hebat Ayahku bergulat "Dasar pelacur" begitu geramnya dengan marah.

Begitu keluar dari kamar wanita itu segera disuruhnya Aku mengemas barang-barangku untuk secepatnya mengejar kereta malam itu kembali ke kota. Ibuku berdiri mematung saat itu, sekonyong-konyong menghampiriku lalu memelukku sambil menangis terisak.

Dimasukkannya jemarinya dalam genggaman tanganku sampai jari kami merasakan benda dingin ditengah telapak kami. Sebentuk gunting kuku. Aku menyerahkannya ke telapak tangannya sambil berbisik "seperti kuku, ada kalanya sesuatu harus dilepas dari jemari kita, dan Aku melepaskan segala beban resahmu pada wanita itu"

Ibuku menggeleng dan menangis sejadi-jadinya sambil berbisik pahit "Kalaupun Aku kehilangan cintaku pada Ayahmu, tak ingin kehilangan cahaya bahagiaku disisimu Anakku."

Sebentuk gunting kuku kini bergulir ditengah telapak tangan legamnya ketika Aku memasuki gerbong-gerbong kereta itu. Kereta bergerak menerabas dingin malam ketika wanita itu hilang di kejauhan.

Aku mengetahui kabar dari Desaku tidak lama kemudian. Wanita itu turut diusir juga dari rumah kami, Dia akhirnya kehilangan Ayahku. Ibuku kehilangan Aku, anaknya.

dan tentang Aku?

Aku kehilangan banyak waktu yang harusnya bisa kuanyam dengan Ibuku di latar desa dengan anak sungai sepanjang kasih Ibuku. Aku baru berani kembali bertahun-tahun kemudian ketika Ayahku memanggilku karna Ibuku menderita penyakit keras dan mengigau tiap malam memanggil-manggil namaku.

Di bunyi yang didengungkan surau subuh itu Aku kehilangan Ibuku akhirnya setelah bergelut sementara setelah Aku kembali disisinya. Benda terakhir yang kudapati di bawah bantalnya hanya sebentuk gunting kuku. Dan kembali kudengar suara Ibuku saat itu "Seperti kuku, ada kalanya sesuatu harus dilepas dari jemari kita seperti Aku merelakanmu lepas dan tumbuh menjadi pemuda yang baru."

Ini hanya kehendak Tuhan Aku bisa melewatinya, tapi Aku tak bisa melupakannya...

Rabu, 01 Oktober 2008

sepasang

sepasang mataku dibingkai sebuah kacamata,

membuatku awas akannya.


sepasang cuping hidungku

kupenuhi oksigen yang mengalir penuh

agar tak jua lelah.


sepasang daun telingaku mendengar lebih tajam

dan memberi aba ketika suatu hari engkau

bersiap melangkah pergi.


sepasang tanganku

tersiap 'tuk menarik diriku kelak.


sepasang kakiku tak kudobrak

agar terus maju namun siaga satunya

untuk kembali lindung menjejak mundur.


segalanya kusiapkan sepasang

lebih untuk kuasah

agar ku siap kala itu,

kala pelukku dan engkau berlalu.


Yang tak kutahu kala itu,

aku tak punya sepasang hati

tuk merelakanmu.

Senin, 15 September 2008

24

izinkan aku merengkuh dalam sejenak diam,
bersendiri terlahir dan hari memang sendiri.
tak ada kado hanya kata yang menguap,
sembari tak bersisa

24
dan aku hanya penuh oleh waktu
yang berdetak nyaring dalam hampa.

kali ini jangan bercokol dalam hatiku saja, Tuhan
bicara atau teriaklah padaku,
karna Aku butuh Engkau
untuk nafas yang ingin kuraih bahagia,
pada hidup yang ingin kulabuhkan dengan
rasa sederhana, Bahagia.

dan takdirmu kugenapi dengan rasa syukur,
dengan dua tangan menangkup doa di dada,
tanpa sebuah permintaan, apalagi harapan
Terima Kasih, Tuhan.
meski tak tahu

Kamis, 14 Agustus 2008

be it unto me

Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga 15 Agustus ini barangkali sebuah permenungan kecil utamanya untuk diriku sendiri. Tepat setahun yang lalu hari ini kukenang sebagai lembaran dimana Aku mengenal Bunda ku ini selain sesosok wanita bernama Ibu. Mengenal dalam kosakata ini bukanlah dalam arti tidak tahu sama sekali, tetapi seyogianya sadar dan mengerti akan segala sikapnya saat itu.

Setahun yang lalu Aku dan sahabatku berboncengan menyusuri kotaku dimalam hari. Ketika itu Aku seperti dihampiri perasaan kangen pada Bunda-ku ini. Perasaan kangen itu bukannya muncul tanpa sebab, tetapi dikarenakan tanpa sengaja lewat di depan Bumi Katolik Rajawali (tempat berkumpulnya semua orang beragama Katolik setiap 15 Agustus.red).

Perasaan kangen tadi tidak kunjung membuatku singgah ke tempat itu. Hal itu membuatku justru mendiskusikannya karna dengan sikap yang cenderung bertanya, sahabatku menanyakan "Mengapa Maria justru mengambil peran penting dalam Agama Katolik?"

Pertanyaan tadi hampir sekorelasi dengan hirau pikuk diluar yang mempertanyakan Maria dengan segala perannya dalam Gereja. Aku ingat ketika dengan mendengus seorang kerabatku menyatakan "Setiap wanita bisa saja mengandung dan melahirkan Jesus Kristus tanpa terkecuali." Ungkapan pernyataan tadi justru menyiratkan bahwasanya Bunda Jesus tadi hanya mendapatkan sedikit keberuntungan, just magic only.

Semua akal dan daya upaya di alam pikirku kukumpulkan untuk menjawab fenomena tanya ini, tapi sekiranya dalamnya rasa keagamaanku hanya sekecil biji timun. Tidak mudah untuk menjawabnya, sampai kuputuskan untuk membawa sahabatku berdoa di depan patung Bunda Maria.

Malam sudah larut ketika Aku memutuskan mencoba berdoa di depan Bunda Maria. Dengan sedikit keras kepala Dia hanya menyaksikan diriku dari jauh ketika Aku berdoa. Semakin malam ketika suara jangkrik turut menghiasi selesainya doaku. Pelan-pelan Aku berjalan dalam remang malam sambil mengingat semua kisah-kisah Maria, Bunda Jesus.

Kepolosan mata patung Maria saat itu akhirnya memberiku jawaban yang tak lagi kosong. Aku mempercepat langkahku menghampiri sahabatku dan berkata dengan nada riang terselimut sunyi "Tahu gak kenapa Aku suka Maria?" Dia menggeleng. Aku pun menggeleng.

"Karna Dia tidak senaif kamu yang selalu mempertanyakan. Dia hanya berserah dengan sedikit kata yang terpatri selalu Jadilah padaku seperti yang Engkau kehendaki...."

Kala itu sahabatku memelukku dan berkata demikian "Be it unto me"

Dan demikianlah bilamana ada yang bertanya kepadaku "Mengapa Maria?" jawabnya selalu pada kesederhanaan kata "Be it unto me- Jadilah padaku seperti yang Engkau kehendaki.."

Bahkan ketika seorang wanita sezamannya didaulat hamil tanpa seorang suami, saya pikir tak ada yang seikhlas Maria dalam mengamini segala sesuatunya. Jin, tuyul ataukah malaikat yang akan dikandungnya kelak tidak ada jeda tanya untuk itu. Hanya kepercayaan sederhana yang diberikannya kepada Tuhannya selalu.

Kamis, 07 Agustus 2008

leaf four clover;suatu logaritma keberuntungan

08 Agustus 2008

Jejak memorable hoki tergurat di angka 8 tahun ini. 888....

Hoki? Keberuntungan? Inilah mungkin yang selalu diharapkan untuk selalu turut serta dalam sentuh corak hidup kita. Seakan inilah penyemarak yang selalu diiringi sorakan kala kita mendapatinya singgah di hidup.

Dalam damai doa kita selalu berbisik meminta diberikan anugerah rahmat kepada TYME, sungguh anugerah dan rahmat yang dimaksud tak lain hanyalah keberuntungan. Seperti bermain judi roullete, kepasrahan dalam doa kadang tidak berisi pernyataan syukur semata, tetapi berujung pada permintaan yang sederet tetapi dirangkum dengan sekata Anugerah/Rahmat.

Suatu sindiran pernah saya simak di internet berbunyi demikian "in god we trust. in gold we trust?

Saya sendiri bisa secara otomatis lebih memilih kata in gold i am trust, dengan kemungkinan sifat manusiawi yang lebih kuat membatini saya.

Suatu kali pernah terpaku membaca sebuah cerpen yang dimuat di sebuah harian kotaku berjudul "Doa yang mengancam". Cerpen itu kalaulah kuingat kembali lebih berkisah bagaimana tokohnya dengan mengharap sedikit keberuntungan melakukan tawar-menawar keinginan dengan Tuhan-nya.

Tak ada yang salah. Kita melakukan itu juga acap kali, dengan rasa hati atau permintaan yang barangkali lebih diperhalus entah karena kita takut pada kemurkaan Tuhan, entah...

Dengan mengharap keberuntungan pulalah, maka pada tanggal 08-08-2008 yang menggerakkan orang-orang berbondong melakukan ritual pernikahan, kelahiran anak (melalui caesar.red) atau kepentingan-kepentingan lainnya dengan seabrek harapan.

Keberuntungan dan Harapan seperti hampir terpaku erat sekoin untuk dibagi bersama. Law of attracttion, itulah yang diulas oleh Prof. Richard Wiesman yang lewat bukunya "The Luck Factor" mencoba mengurai bagaimana keberuntungan melingkupi dunia kita.

Survey yang dilakukan Wiesman ternyata mendapati bahwasanya keberuntungan diperoleh atas sikap dasar positif terhadap segala sesuatunya dan harapan yang besar bahwa segala sesuatunya akan berjalan baik.

Belajar dari rahasia berpikir positif dan selalu mempunyai harapan pulalah maka tak ada salahnya kalaulah kita dapat sedikit saja diam mengkritisi sesuatu. Ketika hari ini membuka blog dan mendapati blog saya sedikit banyak berisikan kesinisan dan kritisi, maka tak ada salahnya hari ini menu yang ditampilkan disajikan berbumbu unik kata bernama Keberuntungan dan Harapan.

Dengan harapan pulalah, Saya berharap orang-orang yang kebetulan mampir, numpang lewat ataupun yang sengaja membaca serius blog ini dapat menularkan hal-hal positif kepada orang-orang di sekitarnya. Semoga beruntung!!!

Jumat, 25 Juli 2008

pernikahan dalam selembar amplop

Mengapresiasi kehadiran sebagai sesuatu hal yang mutlak ada sebelum terjadinya perpisahan, merupakan suatu dan lain cara hukum sebab-akibat bekerja. Tak terkecuali dan juga tak terelakkan, begitulah kira-kira daya yang muncul seperti medan kutub magnet yang tarik-menarik.

Di awal bulan ini, beberapa acara resepsi pernikahan merebak mengunjugiku, bertamu dengan hanya selembar surat undangan di mejaku setelahku kerja dan kembali pulang ke rumah seperti ditodong untuk bersua dengan tetamuku tadi. Kehadiranku di setiap nuansa kebahagiaan pernikahan mempertontonkanku bahkan seperti yang digaung-gaungkan oleh tiap MC-nya bahwasanya inilah akhir penantian setiap pasangan, bersatu dan terikat dalam sakralitas Cinta dan Tuhan.

Paket-paket kecil itu menyajikan surga yang wah as usually tentunya.

Yang mengingat dan yang berlupa, mungkin itulah gambaran yang akan sangat tepat bilamana kabur jejak antara pertemuan dan perpisahan. Dalam suasana keriuhan seperti tidak ada yang sadar bahwa inilah detik-detik perjumpaan dan perpisahan merangkul erat. Orang tua harus rela kehilangan anak-anaknya untuk bersua dengan orang lainnya.

Satu dan lain cara yang dihimpun pun tidak bisa menghindarkan hukum yang bekerja. Beriringan, satu jalan.

Pernah suatu kali terpikir olehku dengan imajinasi fantasi bahwasanya warna undangan pernikahan yang rata-rata dipilih kemungkinan didominasi oleh warna merah ataukah putih dengan alasan adanya pertumpahan darah. Kelahiran baru, karakter baru.

Pertemuan dan perpisahan mengguratkan makna eksistensi kehadiran masing-masing dari kita. Meski demikian tidak semua orang lantas mengamininya. Seperti seorang anak kecil dengan manjanya kita tidak bersedia kehilangan hal-hal yang menurut kita menarik.

Tetapi apapun daya upaya kita semua berjalan seperti semestinya. Bentuk kesadaran itu pun kemudian ketika dikaitkan dengan sakralitas Cinta dan Tuhan seperti menemui jejaknya sendiri.

Pertemuan, Perpisahan, Cinta dan Tuhan menemukan kesadarannya dalam sakralitas rasa pahit-manis akan pemahaman kita masing-masing. Gambar realitas Pernikahan pun akhirnya menggabungkan semuanya akan jejak ke depan, sebuah jejak yang ketika dilangkahi pun masih penuh misteri.


"Kadang-kadang Tuhan mengirim surat cinta-Nya dalam amplop yang pinggirannya hitam. C.H. Spurgeon."

Rabu, 16 Juli 2008

only hopeless in pandora box

Sejatinya setiap kemenangan hampir selalu menaruh harapan yang jamak. Harapan itu bisa bermacam dalam rupa ataukah identifikasi kesuksesan, popularitas, kekayaan, ketenaran, kebanggaan, dll.

Membaca peluang akan harapan dan kemenangan yang dicari oleh setiap orang, maka tidaklah mengherankan bila dalam beberapa tahun belakangan bermunculanlah program-program layar kaca yang bermuara atau berakhir dengan persona individual “WINNER”.

Persaingan diatas pentas pada akhirnya melahirkan pesona drama baru. Setiap individu yang berlaga mencapai kemenangan itu menampilkan pentas akan makna pencapaiannya dengan berbagai sikap dan cara, dan tentu saja kemampuannya sesuai item konteks programnya.

Kontes kecantikan Miss Universe misalnya yang diusung 14 Juli 2008 lalu adalah salah satu contoh acara kontes dengan tema “Ratu Sejagat” yang awalnya merupakan cara Pacific Mills untuk mempromosikan produk pakaian renang Catalina mereka pada tahun 1952. Tidak banyak yang tahu,bukan? He8x. Pada tahun 1996, Donald Trump membeli hak kepemilikan kontes ini yang kemudian ditayangkan CBS dan pada 2003 beralih ke NBC.

Kontes kecantikan ini menaruh harapan yang prestisius akan makna kecantikan dari setiap negara, suku, budaya, dan harapan lainnya. Euforia pesta kontes ini yang walaupun banyak melahirkan pro dan kontra tetapi tidak dapat dipungkiri bahwasanya juga menaruh harapan dari setiap pemirsanya.

Kontes serupa seperti idol-idolan pun makin marak masuk dan menjarah, tidak hanya menjanjikan mimpi atau harapan yang jamak juga disertai eksklusivitas image yang ditiru.

Arti kemenangan kemudian bergeser yang pro dengan kontes tersebut menganggap itu sebagai kebenaran menyeluruh sedangkan yang kontra melihat hal tesebut sebagai hanya pertaruhan kanibal dengan pelbagai cara dan senjata.

Kontes kecantikan Miss Universe misal menuai komentar bahwasanya kontes tersebut seperti kontes persaingan boneka-bonekaan Barbie. Tapi dari komentar yang lainnya mengganggap kontes tersebut sebagai pertukaran untuk diperlihatkan ke mata dunia.

Ketika menulis blog ini seperti merenda garis tipis pro dan kontra menjadi bahan pemikiranku. Harus ada yang dipihak ketika menulis sebuah ide ataukah pemikiran. Tetapi kali ini benar-benar meragu.

Setiap kali menonton kontes-kontes serupa, Aku kemudian berpikir bahwasanya hampir setiap acara-acara tersebut akhirnya merupakan kesatuan harapan banyak orang yang bertumpu pada satu atau orang lainnya. Begitu langkanya kita untuk selalu menaruh harapan dan impian mempercayakan pada diri sendiri.

Mungkin hal inilah yang disimak program-program tersebut, sehingga sebuah kontes selalu memunculkan harapan, impian, dan tentu saja yang selalu diidam-idamkan dalam mimpi seorang/sesosok image bak pahlawan "Sang Pemenang".

Saya merasa cantik saat saya memikirkan bagian dalam diri saya. - Nelly Hayatghaib.

Bisa jadi kata-kata itu diciptakan Nelly ketika melihat dari layar kaca ratusan wanita melenggok diatas pentas dan turut merasakan dirinya hadir disana berjalan dengan daster diatas pentas, dan tetap merasa cantik, bahkan dia yang mendapatkan mahkotanya.

Yah, Harapan.

Bahwasanya Harapan yang merupakan satu-satunya yang tersisa dari kotak kecil Pandora adalah hanya satu-satunya jalan menuju Kemenangan. Kemenangan bagi diri sendiri. Impian bukan sekadar untuk digantungkan pada orang lain, tetapi seyogianya bertumpu pada diri sendiri. Merasa diri sendiri adalah Pahlawan dan Sang Pemenang.

Dan pada waktunya seperti kata-kata yang dituliskan Pliny the elder "Harapan adalah tiang yang menopang dunia. Harapan adalah mimpi orang-orang yang sedang tidak tidur.

Jangan pernah tertidur untuk terus mengurai harap dan mimpi menyaksikannya sebagai layar kaca kemenangan Anda pribadi dimana Anda ataupun Aku menjadi persona Winner bagi diri kita sendiri.

Jumat, 04 Juli 2008

still hurt but also still survive;to fight

Harian Pagi Fajar Makassar, Sabtu, 5 Juli 2008 pada halaman utamanya menurunkan topik berita dari belahan dunia lainnya, Perancis. Berita tersebut menyebutkan perihal pembebasan mantan calon Presiden Kolombia (2002.red), Ingrid Betancourt dari sekapan kawanan pemberontak Revolutionary Armed Forces of Colombia (FARC), setelah disandera selama 6.5 tahun.

Menguak jendela takdir dari jembatan yang penuh ketidakpastian, terbukti akhirnya memberikan kebebasan yang penuh, dengan napas lega setelah ditempa penuh keputusasaan. "Saat leher Anda dirantai, Anda hanya bisa menerima nasib tanpa melupakan siapa sebenarnya diri Anda. Saat itu, saya mencapai titik dimana saya memahami bahwa kematian adalah hal yang sangat mungkin." ucap wanita kelahiran 25 Desember 1961 itu.

Pada kolom tersebut juga dituliskan bagaimana Betancourt menggambarkan bahwa rasa sakit yang dirasakannya tak ubahnya sebagai serangkaian masalah yang saling bertumpuk. Dia mengaku tidak bisa menjaga diri hingga menjadi kurus, tidak bisa bergerak, dan tidak berdaya. Bahkan untuk minum pun kesulitan. Saat-saat itu digambarkan Ingrid sebagai situasi yang benar-benar kritis baginya.

Pemasungan kebebasan sebagai hak asasi mahluk Tuhan juga turut diurai pada harian yang sama, tetapi dari dalam negeri sendiri, Indonesia. Di wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, tepatnya di kabupaten Bulukumba, dua orang dari keluarga berbeda dipasung oleh keluarganya dengan alasan penyakit jiwa.

Satu perkara yang pelik bergumul dengan keadaan "membenarkan". Tapi pernahkah bertanya?Barangkali tidak. Pilihan dirasakan buntu tanpa jalan.

Kenangan yang sama pernah terurai dari ceritera salah seorang karibku. Kisahnya tentu saja tidaklah sama dengan story pemenjaraan kebebasan diatas. Tetapi barangkali punya persepsi yang sama yang dilakukan oleh banyak orang atas kehendak dan pilihan pribadi.

Cinta yang membutakan.

Aneh? Barangkali tidak lagi, karena pengalaman inilah yang subjektif dan vokal diantara kita.

Sungguh. Berjuta orang melakukannya terjebak dalam kenangan cinta masa lalunya, memasung kebebasan hatinya dengan selalu berkata 'tidak dapat melupakan cinta sejati yang didapatinya'. Tapi benarkah kata bodoh berlabel 'KESETIAAN' selalu benar? Pernahkah anda bertanya kalaulah SETIA kadang ciri perspektif yang salah?

Suatu hari di tengah malam, seorang karib saya bahkan menangis menyatakan betapa Dia setelah sekian lama tidak pernah dapat melupakan kekasih yang dicintainya. Sampai katanya dengan nada tertahan " mungkin dia itu berasal dari tulang rusuk saya". Dan akhir malam itu diakhirinya dengan sebuah sms berbunyi "still hurt but also still survive".

Rasa sakit pemasungan diri sendiri (baca: hati.red) itu justru berujung lebih tragis karena berefek seperti penenang, bius dan anestesi yang berbunyi "survive", bukannya "to fight".

Pada ujungnya ketika diperdebatkan tak penah salah, tetapi juga tidak betul-betul benar. Kebebasan kadang seperti imaji yang didamba tapi tak direngkuh terpatron pada berbagai tetek bengek, terikat pada hal-hal seperti luka hati, pekerjaan, dan pelbagai pergulatan lainnya dengan diri sendiri.

Pemasungan nyatanya menyedihkan dalam segala bentuk dan upayanya. Ini bukan lagi obat yang manjur tetapi luka yang dibiarkan membengkak dan tak pernah sembuh. Ingrid Betancourt, dua orang sakit jiwa di Bulukumba dan karibku mengalaminya sebagai kenangan yang mungkin terburuk sepanjang sejarah hidup mereka. Kebebasan mungkin satu-satunya betadine yang menyembuhkan.

Mari melakukan ritual fang shen, membebaskan segala hasrat dan keinginan dari diri sendiri hingga utuh. Hirup bebasnya.

Rabu, 25 Juni 2008

sebuah kelahiran bernama kebahagiaan

Dari jalan-jalan menyusuri kota di malam yang panjang, sangat panjang. Lewat pukul 11 ketika mobil melaju menerobos malam. Dua orang di dalamnya terlena sepi, sampai salah seorang membuyarkan keheningan.

"Bagaimana malam ini? Apakah kamu bahagia?" jari-jarinya merengsek masuk di jemariku yang memegang kemudi setir mobil. Hampir seketika tanganku yang lengket basah karena keringat melamunkan fantasi bagaimana garis-garis ditangan kami menyatu bercinta dengan mesra dan seluruh pelepasannya adalah orgasme keringat tadi.

Kutatap balik dirinya. Selusur matanya yang sipit makin menyipit menunggu jawabanku. "Yah, kenapa tidak?" balasku sambil semakin meremas jemarinya lebih erat. Lebih banyak keringat kali ini.Arrrrghh....

Sejenak diam dan jemariku tetap bercinta hangat, ketika tiba-tiba tangannya dilepaskannya. Diambilnya tisu di hadapnya dan disekanya jemarinya. "Apa itu bahagia?" serunya sambil sibuk memainkan tisu, memilinnya hingga tak berbentuk.

Senyap semakin merengsek masuk melalui kaca mobilku, kutatap balik dirinya dan Aku terhempas pada kenangan pertemuan pertama kami. Pertemuan kami hanya sebuah perkenalan singkat dengan bahasa kasar perjodohan, dimana orangtua kami menjadikan kami bidak-bidak catur permainan bernama Hidup. Tapi kali ini bukan hidup mereka, tetapi Hidup kami.

Dari sekadar pertukaran nomor handphone, berlanjut ke hal-hal kecil yang juga orang lain lakukan semasa pacaran, ke bioskop, makan malam, dll. Pertemuan singkat kami akhirnya menjadikan kami lebih intens berhubungan dan akhirnya perjalanan kami hanya sebuah perjalanan yang aku pikir berbahasa kesamaan tanpa ikatan atau kata "Apakah kamu cinta aku?" atau "Apakah kamu mau menjadi pacarku?" Label perjodohan pada akhirnya membuatku merasa memilikinya tanpa perlu mengutarakan kata-kata itu.

Dan diperbatasan hari, hampir tengah malam pertanyaannya serasa membuatku terhenyak dan kembali membatin, bertanya "Apakah Dia bahagia?"

Kubuka mulutku berpacu dengan udara malam yang serasa ingin membekap mulutku dan kukoarkan jawaban. "Bahagia itu hanya sekadar skenario dimana kita menjadi pemeran utamanya."

Tisu ditangannya berhenti memilin dan tanpa diduga matanya berkaca-kaca sampai akhirnya terbentuklah sungai-sungai kecil di alur pipinya. Dari jarak yang tak sampai 30 cm Aku tak berani memperkecil jarak tadi dengan merengkuhnya dalam pelukku, laiknya film bernuansa romantis.

Sesuatu menahanku melakukan itu. Mungkin tak bisa melakukan itu semua karna tahu jarak itu bukanlah jarak yang dapat kuseberangi hanya dengan melangkah meraihnya. Suasananya seketika sendu dengan hanya ditemani suara kecil tangismu, kediamanku dan lagu berbahasa chinesse dari Ado berjudul "Hurt" melantun.

“Why Do You Hurt me so long?" begitu bunyi liriknya mendengung ketika Aku menghentikan mobilku tepat di depan pagar rumahmu. Kita masih diam.

Kuputuskan dengan sedikit keberanian tentu saja, mencondongkan kepalaku dekatmu, menyentuhkan garis bibirku sedikit bercinta dengan bibirmu dalam waktu yang tak sampai 30 detik. Kemudian menjauhkan wajahku dan berkata "Kau Bebas."

Engkau melangkah keluar dari mobilku, memunggungiku dan kali ini lebih banyak Air mata lagi di garis matamu. Air mata kebahagiaan, mungkin?

Lewat tengah malam ketika roda mobilku kembali berputar mendarat menggilas aspal, menyatakan seberapa banyak waktu yang telah Kita lewati bersama. Tapi kali ini Aku bersendirian.

Udara dingin dan sepi diluar. Lagu “Home” milik Michael Buble kuputar sambil mendendangkan lirik-liriknya bersendirian, feeling the same way like Buble. Maybe surrounded by a million people, I still feel all alone, I just wanna go home. I miss you, you know. I feel like I’m living someone else’s life. Another aeroplane, another sunny place, I’m lucky I know, but I just wanna go home. Let me go home. I’m just too far from where you are. I wanna come home.

Go home dan melegakan. Seperti melakukan tradisi Fang shen dalam tradisi Buddhis, yang ada hanya tak memiliki tetapi bahagia.

Jemari tanganku menggengam erat bercinta dengan kemudi setir mobilku, tapi kali ini tak ada keringat, hanya air mata yang setetes mengaliri pelupuk mataku, kuseka dengan jemariku, dan tanganku kembali basah. Oooops...

Senin, 23 Juni 2008

mencatat cacat dengan cat yang tak lagi pucat

Kami ditindas dalam segala hal, namun kami tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa" St. Paul

Helen Keller, Ludwig Van Beethoven, dan Ratna Indraswari Ibrahim mungkin saja tidak pernah bertatap muka. Dalam periode waktu yang berbeda, ketiga tokoh tersebut hanya dipersatukan oleh loncatan kuantum terbesar dalam sejarah hidup mereka masing-masing berupa 'kecacatan yang datangnya tiba-tiba'.

Helen Adams Keller mungkin tidak pernah menyangka dirinya yang lahir secara normal pada 27 Juni 1880 di suatu desa kecil di Nothwest Alabama, AS akan menjadi cacat. Tatkala menginjak usia 19 bulan Hellen jatuh sakit, penyakit yang kemudian diduga meningitis (namun sampai saat ini penyakit persisnya masih misterius) ini menyebabkannya kemudian kehilangan fungsi penglihatan dan pendengaran. Helen tumbuh menjadi seorang anak buta tuli, tumbuh sebagai anak yang sulit, dan temper tantrum.

Di bawah penanganan tepat dari gurunya, Anne Sulivan, yang juga memiliki cacat penglihatan jarak dekat, kekurangan-kekurangan Keller dapat teratasi. Ia dengan sangat mudah menangkap pelajaran yang diberikan, dan perkembangan kemajuan Keller yang sangat luar biasa menjadi buah bibir masyarakat. Ia dikenal sebagai penemu huruf Braille, metode membaca untuk orang buta. Hellen Keller adalah satu contoh konkrit anak cacat yang berbakat (handicapped gifted).

Helen Keller bukan satu-satunya orang yang mengalami kekagetan luar biasa saat mengalami kelumpuhan. Kisah yang sama turut menimpa Ludwig Van Beethoven, tokoh musik dan komponis jenius paling berpengaruh yang sukses merangkai sonata-simfoninya dengan komposisi instrumen.

Dibalik semua kesuksesannya dalam bermusik, Beethoven ternyata harus berjuang dengan penyakit pada pendengarannya yang mulai mengganggu dan pada tahun 1817 ia menjadi tuli sepenuhnya, yang membuatnya harus melepaskan karirnya sebagai pianis. Saat itulah ia meninggalkan Wina dan lebih banyak mengurung diri. Pada periode ini, Beethoven berhasil mencipta sebagian karya-karyanya yang terbesar.

Kisah patriotis kecacatan juga turut ditorehkan dari Tanah Air, Indonesia. Ratna Indraswari Ibrahim menuturkan cerita tentang dirinya dalam blog-nya dengan menyatakan demikian: "Saya mulai mengalami cacat tubuh pada usia sekitar 13 tahun, tapi prosesnya sejak saya berumur 10 tahun.” Tegasnya. Lebih lanjut Mbak Ratna menceritakan bahwa cacat tubuh yang menimpanya disebabkan oleh penyakit rachitis (radang tulang).

Maka tak heranlah, apabila Mbak Ratna punya foto dirinya ketika kondisi tubuhnya masih normal. Foto itu dipasang di kamarnya. Bahkan ada beberapa teman yang bercerita, ketika Mbak Ratna masih kecil dan tubuhnya belum cacat, punya hobi memanjat pohon seperti anak laki-laki. Ia anak yang amat dinamis. Nyatanya, Dia dapat menorehkan proses kreatifnya dalam mencipta ratusan cerpen dan buku dari atas kursi roda.

Merekam sejarah dan mencatatnya dari perspektif contoh ketiga tokoh tersebut membuat Aku berpikir bahwasanya ini bukan lagi tentang keterbatasan yang dikoar-koarkan atau malah digunakan sebagai senjata menarik simpati.

Ini tentang karya. Ini tentang pengalaman. Ini tentang kesederhanaan, penerimaan diri yang menyeluruh dan apa adanya. Ini tentang Hidup dan cara memaknainya.

Barangkali ini tentang semua catatan kecil yang akan Kita torehkan.

Catatan selama nafas masih dikehendaki menggelayut didada. Catatan pada siapa kita akan menceriterakan tentang diri kita di dunia. Mengenang kata bijak Eleanor Roosevelt : "Masa depan hanyalah milik orang-orang yang percaya pada keindahan mimpi-mimpi mereka."

Pada saat menulis blog ini Aku tidak hanya mencatat tetapi bermaksud menyebarkan catatan ini sebagai deskriptif dengan satu tujuan semata, yaitu menjadikan indah mimpi-mimpi buruk 'kecacatan', menjadikan kecacatan tak lagi gambaran pucat semata yang mengerus hidup tetapi pukulan telak bagi kita semua yang dianugerahi ke'normalan' raga.

Sebagai penutup izinkan saya mengutip kata-kata Si Buta Helen Keller sebagai permenungan kita semua, berikut :"Pabila Anda selalu menghadap ke matahari maka anda pun tidak akan melihat bayangan."

untuk Supriadi

Minggu, 22 Juni 2008

Bank Budi, jejaring pembayaran dimuka

Bank itu berisikan rekening-rekening bernama kontak. Ide cemerlang itu kubaca dari sebuah buku super berat karangan Paulo Coelho berjudul 'The Zahir'. Untuk kujelaskan kembali ataukah kalaulah perlu Aku kutipkan berikut pengalaman yang kubaca untuk kembali disebarkan ke tiap-tiap orang yang kebetulan ataukah secara sadar mengikuti blog saya ini.

Bank Budi, itulah nama bank yang diusung penulis, cukup untuk membuat kita bertanya lebih lanjut,eh? Bukan karna adanya karakter bernama Budi sampai penulis terlena turut ikut-ikutan menamai bank-nya Budi, he8x, tetapi karna kesungguhan untuk sesuatu yang seharusnya dicerna lebih.

Bank Budi dimana nasabahnya adalah orang-orang yang memerlukan bantuan adalah suatu bank yang menjaring nasabah tidak dengan asas "imbal balik", melainkan lebih mengutamakan pada asas kontak dan kepercayaan.

Keuntungan yang diperoleh pun hanya kontak dan kalaulah boleh dibilang balas budi dari orang yang menjadi nasabahnya. Cukup sederhana bukan?

Di sisi lain pasti ada saja yang bertanya bagaimana bila nasabah tersebut tidak ingin mengembalikan "budi" yang diterimanya. Penulis menjawab pertanyaan tersebut dengan menguraikan bahwasanya bila saja nasabah tersebut tidak melakukan hal itu, maka tentu saja Bank Budi tidak dapat melakukan sesuatu pun, tetapi tidak berarti nasabah tersebut tidak mengalami kerugian berarti, akan tetapi Dia akan kehilangan kepercayaan.

Yah, seperti itulah konsep Bank Budi, seperti mata rantai yang tidak pernah putus. Manakala nasabah tersebut merasakan "nikmat" dari Budi yang diterimanya, maka akan secara otomatis diteruskannya kepada satu dan lain orang, dengan harapan prospek investasi yang akan diterimanya dari orang-orang lainnya di masa depan.

Konsep mata rantai ini ditilik dari sifat beredarnya hampir sama dengan proyeksi cara MLM menjaring nasabahnya. Jejaring yang sama diperkenalkan juga oleh penulis asal Amerika, Catherine Ryan Hyde dengan mengusung novel yang kemudian difilmkan dengan judul "Pay It Forward".

MLM cinta demikianlah barangkali secara garis besar isi konsep dari novel Pay It Forward. Sosok Trevor McKinney yang berusia 11 tahun digambarkan sang penulis sebagai sang penemu 'ide untuk mengubah dunia'. Deskripsi ini jauh dari bayangan kita mungkin bahwasanya ide tersebut seharusnya lahir dari seorang sosok dewasa yang mempunyai kedalaman dan pengalaman dari pelbagai hal yang ditemuinya dalam kehidupan.

Belajar Kehidupan dan perubahannya menariknya disini diurai penulis dari kacamata pemahaman bocah 11 tahun. Ide untuk memberikan pertolongan kepada tiga orang disekeliling tanpa meminta imbalan, kecuali 'yang ditolong' memberikan pertolongan yang sama kepada tiga orang lainnya nyatanya menciptakan mata rantai yang panjang dan runtut.

Bank Budi ataupun Rangkaian Kebaikan menurut hemat saya adalah jalan sederhana yang hebat secara menyeluruh. Jalan sederhana yang diretas dengan langkah pelan tanpa beban melangkah setapak demi setapak hingga tak ada lagi tujuan akhir hanya ada awal.

Catherine Ryan Hyde ataupun Paulo Coelho menyebarkan virus pemahaman rangkaian dalam garis besar positif untuk dijangkau. Dalam rerangka untuk mengamalkan jejaring tersebut sebaiknya hiraukan kata 'investasi' yang mungkin ada.

Terpaku pada imbalan Investasi yang mungkin ada, itu pula yang mendorong Aku mau tak mau teringat pada Bunda Teresa, contoh konkret realitas Bank Budi. Bunda Teresa mungkin hanya segelintir orang yang memaknai dan sekaligus merupakan perwujudan nyata Bank Budi dalam kehidupan modern ini. Sedikit orang yang mengamalkan Bank Budi tanpa berpikir imbalan investasi tadi, tetapi lebih memaknainya sebagai 'sesuatu yang dilakukan dengan niat tulus'.

Oase sederhana dari Bank Budi dalam hidup yang tidak harus melulu mengenai investasi, tetapi mengenai kedalaman makna dan pemahaman, investasi yang punya nilai lebih besar barangkali hanya Rasa Puas dan Rasa Bahagia.

Dan untuk Andreas R.K, rekan kerja dan sahabat yang ngefans utamanya pada gadis tua keriput bernama Teresa kuposting blog ini. See you....

Jumat, 20 Juni 2008

shirayuki

selalu berbeda tatkala tak

ada yang mengerti dirimu.

selalu berbeda tatkala rahasiamu

tak dapat kau percayakan.

selalu berbeda bilamana mimpi-mimpimu

dianggap kegilaan fantasi.

dan akan selalu berbeda bila saja

Engkau mempunyai seorang sahabat

mengertimu, mempercayaimu, dan

mendukung kegilaan mimpimu.

Syair ini khusus kupersembahkan untuk sahabat-sahabatku yang selalu hadir dalam proyek Mahabesar Tuhan, bernama Hidup. Memenuhi tantangan seorang sahabat, judul posting kali ini memakai kata dalam bahasa Jepang "shirayuki" yang berarti putih salju.

Sebelum berbagai pertanyaan muncul, in my humble opinition korelasi antara shirayuki dengan syair di atas sekilas tak tampak. Tapi izinkan saya menelusur benang merahnya dengan beberapa kalimat singkat.

Shirayuki dengan makna putih salju, mungkin akan selalu berbeda dengan warna putih dalam segala bentuk transformasinya, tapi ketika digandengkan diantara warna-warni di alam semesta sepertinya tetap saja akan 'bersahabat' dan oleh karenanya masih akan digolongkan pada golongan warna Putih.

Persahabatan laiknya warna, walau terpecah dan terabsorbsi dalam segala bentuk transformasi dan ruang yang walau selalu berbeda akan ada satu asal, PERTEMUAN KEMBALI.

Senin, 16 Juni 2008

the world of study that i know

Miris.
Satu kata yang selalu disuarakan oleh pembaca berita di televisi atau diwartakan koran ataupun harian sangat mengena dan merangkum ironi dunia pendidikan saat ini.Sekonyong-konyong dalam waktu beberapa tahun ketika kita menoleh ke belakang dan melihat sejarah dunia pendidikan di negeri ini, Indonesia, bayang-bayang itu mengikat sejarah tersebut menjadikan bukan sebagai 'sesuatu yang telah lewat', melainkan 'keadaan berulang yang dilakoni'.

Lihat saja bagaimana ketika beberapa hari belakangan dunia pendidikan dikejutkan oleh berita bagaimana "seorang yang dikatakan terdidik" (dalam hal ini karena mengecap strata pendidikan) diwartakan telah melakukan tindakan anarkis.Berita yang dikoar-koarkan hari ini menyangkut sebuah geng basket putri di salah satu sekolah di Pati,Jawa Timur yang melakukan tindakan kekerasan.

Berbekal sebuah nama geng khasnya anak muda "NEROX" geng putri tersebut unjuk gigi mempertontonkan 'kehebatan'nya, dengan yah itu tadi falsafah baru yang tak layak ditiru "tanpa NEko-neko langsung ROyok."

Falsafah instan hasil terjemahan mereka itu turut membuat saya berimajinasi membandingkan dengan sebuah film cartoon yang baru saja diputar di bioskop-bioskop tanah air.Film bergenre humor dengan judul KUNGFU PANDA itu nyatanya lucu juga, terutama ketika Aku membayangkan bagaimana anggota-anggota geng NEROX akhirnya dijadikan sebagai pemeran-pemeran utamanya dimana hidup dan ekstentensi diri dibahasakan fight.

The New philosophy,eh?

Historitas bayang-bayang tersebut mungkin saja patron-patron kelabu produk masa lalu yang kembali dilakoni lagi, dan lagi.Kasus STPDN turut mengurai ceritera yang tidak jauh berbeda bagaimana sekolah dijadikan objek yang menjadi latar ketika 'layar diangkat dan disingkap' untuk dipertontonkan.

Melalui percakapan dengan seorang teman saya yang berprofesi sebagai seorang dosen muda Dia turut mengungkapkan berbagai permasalahan kompleks yang kronis, in serious condition di wilayah kampus tempatnya mengajar.Kualitas pendidikan tidak lagi dicorongkan sebagai murni khazanah ilmu tetapi lebih sebagai 'profesi yang menghasilkan'.

Seorang mahasiswa mengeluhkan bagaimana dosennya yang mengikuti kegiatan MLM turut berjualan dengan menyangkutpautkan pelajaran yang diajarkannya dengan jualannya.Berikut celotehan yang dilontarkannya kawan saya itu melalui chat ym :
"katanya ada tugas mau dikasih terus disuruh datang ke jalan apa gitu.Apa yg terjadi disana mereka disuruh dengar seminar MLM XXX ampe jam 12 malem, banyak mahasiswa yg nggak tahan lari pulang.Tahu apa yang dia buat?Absennya disilangin 2 kali.Ada yg memberanikan diri bertanya mau pulang terus dia bilang ini blum selese abis itu baru dia kasi tugas."

Bagian-bagian dari pengalaman pribadi saya selama masa-masa mengecap bangku pendidikan hampir sama baku-nya dengan pengalaman sebagian siswa/mahasiswa/i yang tunduk patuh menjadi budak dari nilai,angka yang terumus dalam ijazah ataupun laporan pendidikan lainnya.

Ironis ketika pendidik dan terdidik akhirnya menempatkan diri dan menandai wilayahnya masing-masing dengan cara yang berbeda.Dengan satu dan lain hal siswa menempatkan dirinya kadang sebagai pemberontak sedangkan pendidik sendiri berdiri dibawah bayang abu-abu yang takkan dapat disentuh.

Pemberontakan dalam menunjukkan jati diri, to fight akhirnya diterjemahkan salah oleh seseorang, sekelompok ataupun segelintir individu.Ambil contoh bagaimana mahasiswa/i kita mengecat dunia pendidikan kita dengan label DEMONSTRASI.Segala hal yang terjadi di negeri kita ini jujur saja tampak harus dipertanggung jawabkan lebih kepada mahasiswa/i daripada elite negara.

Fiuh,Miris dan itulah yang terjadi ketika dunia pendidikan kita akhirnya diwarnai oleh berbagai warna pada wajahnya menampilkan topeng-topeng yang sebagian besar termarjin dipenuhi kecacatan.

Dan pada akhirnya ketika aku bertanya apa saja syarat menjadi pendidik kepada kawanku yang dosen tadi berikut ini jawaban yang dicetuskannya : "kamu harus benar2 jujur, punya kemampuan untuk belajar dan mengajar....kerelaan untuk berbagi sama org ilmu yg kamu punya..bukan dgn cara2 rendahan."

Titik temu dari semua jawabannya tadi akhirnya merumuskan bagaimana obat yang kira-kira diperlukan oleh dunia pendidikan kita ini, Kejujuran dan Kerelaan yang bermuara pada kesimpulan Tulus Mencintai.

Hubungannya?

Ya.Dunia pendidikan kita butuh individu-individu yang punya ketulusan untuk mencintai ilmu sebagai sesuatu yang murni, tanpa motivasi apapun juga.Individu yang belajar mencintai ilmu seperti seorang anak kecil yang selalu dihantui rasa ingin tahu.Dan mungkin saja topeng ini akan dilakonkan dengan baik ketika seorang pendidik ataupun terdidik mulai berani berkata dengan polosnya Siapalah saya untuk menilai kamu?

Jujur mengakui dan tulus mencinta, eh?

Selasa, 10 Juni 2008

180 degree's

180?

Ketika merujuk pada angka yang memiliki asosiasi tautan makna derajat, bengkokan, perubahan besar laiknya busur panah yang ditarik melengkung, itulah yang beberapa waktu yang lalu diutarakan sahabatku. Pemikirannya bahwasanya ada yang tidak dia kenal dari diriku, changes.

Peringatannya itu secara otomatis langsung memaku alam bawah sadarku pada sebuah lagu yang berkesan punya ketukan yang sama dengan pernyataannya. Liriknya dinyanyikan seperti ini : "kaki dikepala, kepala di kaki..."

Aku kemudian bercermin dan menatap bayangan diri yang jauh sejenak persis sama seperti Aku di hari-hari sebelumnya. Dan apakah yang berubah? Mengamati dengan lebih seksama lagi dan lagi.... dan dengan keras kepala berkata, masih sama tak ada yang berubah. Bahkan melalui meditasi hening sejenak dengan musik melantun ditelinga jua tak menemukan apa yang berbeda.

Dengan bersegera mencari topik alasan membenarkan diri bahwasanya memang tidak ada yang berubah, apalagi bila dikatakan berubahnya sampai pada derajat ke-180. Gelisah, bingung dan mencari sampai ke akar perubahan, tetapi bukankah ada pepatah "balok di depan mata sulit dilihat, tetapi gajah di seberang sana dijangkau lihat jua"

Mungkin sedetik lalu berubah?semenit lalu?berbulan?setahun?bertahun-tahun?

entahlah....

Tidak menang atau kalah dalam pertaruhan dengan kata-kata teman saya itu, hanya tak tahu, gelisah mengikut sejenak dan kemudian mencorat-coret kertas secara serampangan dengan objek angka 180 berulang-ulang.

Apa yang kutemukan memang impulsif ditemukan secara nalar, tetapi akhirnya kutemukan secara tak sengaja saja ketika kulakukan ritual corat-coret tadi. Coba bayangkan atau lakukan apa yang kutemukan waktu itu. Ambillah kertas dan tuliskan angka 180 tadi, kemudian balik angka itu ke derajat 180.



Yup. Inilah hasilnya bilangan 180 tadi menjadi terefleksi ke angka 081. Merefleksi? yah akan seperti begitu juga perubahan, tidak statis tapi juga tidak pernah benar-benar liquid. Sadar ataukah tidak perubahan yang bergerak seperti air punya sifat yang terpaku seperti bilangan-bilangan 1,8 ataupun 0 yang juga ketika dibalik setengah putaran akan kembali ke asal.

Dan ketika kawanku tadi berkata aku "berubah", maka mungkin yang dimaksudkannya adalah titik dimana aku kembali ke asal atau kembali terefleksi, seperti bayangan cermin. Hanya butuh penyesuaian untuk mengenali dualitas ataukah multi "Aku" itu. Semoga saja demikian.

Kamis, 05 Juni 2008

dan sayangnya benar cinta

sayangnya benar cinta
bahkan walau seringkali pikir membiasakan diri berkata tidak benar, hati berdetak yakin apa adanya.

sayangnya benar cinta,
meski jua tanpa bisikan halus di telaga kupingku kutemukan bisikan halus di desir jiwaku mendengung dengan melodi panjang pendek ruang batinku.

benar cinta sayang,
juga tatkala tatapku terbaris kosong karna jiwaku terperangkap kangen pada selusur hitam bola matamu, lekat.

sayangnya benar cinta,
walau kujelajahi dunia, napasku akan kembali dan melesat, diam dan berburu, bertukar dan menangkap, selaras.

sayangnya benar-benar cinta,
karna walau sejauh apapun aku melangkah, jauh mengitari semesta tetap saja bergantung tanya kenapa aku harus pergi sejauh ini untuk menemukan diriku tanpa dirimu.

cinta benar sayangnya,
dengan apapun tak terkatakan bilamana dirimu melekat di persendian, meraga, hingga tak tahu apakah kita ini saling menumpang ataukah satu berdamai.

sayangnya benar cinta,
dan bahkan ketika seorang berkata kepada yang lain hati-hati dengan hatimu, raga dan jiwaku mengetuk dengan kesadaran sederhana tentangmu.

hati-hati dengan hatimu, tapi
sayangnya benar cinta.

Selasa, 03 Juni 2008

my artist God is Superhero

Semerbak harum hio menyeruak masuk ke jendelaku pagi itu bercampur dengan hawa dingin subuh pagi itu. Adzan menggantung damai di udara, menyanyikan bahasa-bahasa aneh bin ajaib tapi tak jua terasa asing. Bilik sebelah Ibu sedang menyenandungkan doa syafaat meracau dengan berbagai permohonan, yang harusnya bisa dibisikkannya saja tanpa bunyi.

Subuh hampir selalu dibuka dengan kesibukan doa. Awalnya Nenek yang bangun awal pasti saja bersegera membuka pintu balkon menuju teras menyalakan hio bersedekap ke langit dan akhirnya turun ke halaman dimuka rumah melakukan ritual jalan paginya. Menyusul Nenek, suara adzan bersahutan berlomba dengan asap dupa hio nenek dibawa angin semilir subuh. Dan akhirnya ditutup oleh Ibu yang bersegera bangun dan mulai menyenandungkan doa syafaatnya.

Keluargaku memang multikompleks dalam hal agama dan oleh karenanya pembicaraan mengenai agama seperti disembunyikan dalam keyakinan anggota keluarga kami masing-masing. Nenekku yang masih menganut Agama Buddha, "paham lama dan sesat" begitu kata ibuku dahulu sambil berbisik, sedangkan Ibuku seorang penganut Kristen yang taat.

Ketaatan Ibu yang kalaulah dapat dikatakan terlalu fanatik membuatku kadang heran dan bertanya-tanya mengapa Ibu akhirnya mau dipersunting oleh Ayah yang mempunyai keyakinan Katolik. Nenekku hanya mendengus ketika Aku menanyakan itu sambil menjawab "terlalu yakin kadang membuatmu terlempar pada ketidakyakinan". Jawaban itu nyatanya tidak pernah dapat menjelaskan jawaban pertanyaanku.

Keluargaku yang multikompleks dalam hal kepercayaan pada akhirnya mempunyai kesepakatan yang sama dalam hal mengurai jawaban ketika Aku yang baru menginjak usia 8 tahun bertanya tentang keberadaan Tuhan. "Dimana Tuhan itu?" begitu tukasku dalam rasa ingin tahu. Ayah, Ibu dan Nenek selalu menunjuk ke arah yang sama dengan telunjuknya menggaris ke atas langit dan menguraikan bahwasanya Tuhan ada nun jauh melewati langit.

Sepolos usiaku kala itu akhirnya tersimpan dalam khayalku bahwasanya Tuhan itu seperti pahlawan hero kesayanganku, ultraman, yang selalu muncul dari balik awan-awan di bilur langit. Khayalanku bertambah dengan fantasi yang lebih berwarna ketika tahu Tuhan-nya Nenek bernama Buddha lain dengan Tuhan-nya Ibu yang bernama Jesus.

Tarik menarik itu semakin bertambah ketika satu persatu agama kuurutkan dan tahu bahwa Tuhan dalam agama lainnya juga bernama lain. Dalam suara mesjid dekat rumahku Nenek berkata bahwa Tuhan disana disebut Allah (baca: Awwah.red). Melalui kalender berwarna merah dengan tulisan Nyepi, Aku tahu agama Hindu dengan 3 Tuhan bernama Trimurti : Syiwa, Brahma dan Wisnu.

Akhirnya seperti barisan pahlawan hero power rangers kuurutkan Tuhan-Tuhan itu di luar langit. Buddha, Jesus, Allah, Syiwa dan kawan-kawannya menjejer dalam benak fantasiku semuanya dalam tampang biasa saja tetapi kutambahkan dengan bayangan-bayangan mistik kepunyaan mereka masing-masing.

Bagaikan punya fans sendiri Aku pun membayangkan bahwa ketika Nenek membakar hio sambil mengucap doa itu berarti Nenek fans sama Buddha, begitu pun dengan Ibu yang ngefans sama Jesus dan orang-orang yang menyuarakan adzan yang ngefans sama Allah.

Pikiran itu muncul ketika Aku dibawa Nenek ke Vihara ketika Hari Raya Waisak. Berjubel orang mengerumuni bangunan dengan patung seseorang yang duduk bersila yang disebut Nenek, Buddha. Tidak jauh berbeda dengan Ibu yang membawaku ke Gereja ketika Natal tiba dan mesjid dekat rumahku yang sesak padat oleh kerumunan orang.

Transformasi imajinasi yang tinggi menyebabkan Aku berkhayal bahwasanya pada Hari Raya Waisak, seperti pada acara-acara kontes idol-idolan Buddha lah yang keluar jadi pemenangnya. Jesus, Allah dan Trimurti harus kalah saing kalau boleh sarkatis, gigit jari melihat Sang Pemenang. Berimbang di hari raya lainnya Tuhan yang lain lah yang menjadi The Winner dan begitu seterusnya.

Beranjak dewasa fantasi-fantasi serupa kadang menyeruak di benak meski sebagai bahan lelucon saja. Ketika masalah sedang berlangsung dalam kehidupanku Tuhan-Tuhan tersebut muncul satu persatu untuk kudoakan berharap beroleh jalan. Keyakinan yang kupijak saat ini lebih menyerupai sebagai kewajiban untuk suatu prosedur formulir-formulir yang akan mengiringi hidupku.

Tanpa perlu dikatakan objek pujaanku kadang seperti fantasi ku semasa kecil masih bergurat seperti wajah-wajah power rangers yang memecahkan masalah-masalahku. Dan seperti anggota-anggota keluargaku lainnya masalah kepercayaan ini akhirnya kusembunyikan sebagai bagian dari wilayah pribadi.

Tak mengerti mengapa, kadang merasa lucu ketika orang-orang diluar sana berkoar-koar meributkan objek pujaannya. Membayangkan Tuhan seperti membayangkan sesosok artis dimana orang-orang menjadi fansnya dengan keyakinan menggebu-gebu. Sungguh tragis ketika Artis yang diasosiasikan dengan bermacam nama yang sesungguhnya satu sebutan Tuhan, dijadikan alat untuk membenarkan segala tindakan bernuansa anarkis dan separatis atau nuansa negatif lainnya.

Dan sebagai bahan pembelajaran di kompleks keluargaku yang menganut agama multikompleks pula, laiknya asap hio yang membumbung tinggi dimesra udara, ibarat bunyi adzan kala subuh dan suara doa Ibu yang akhirnya berpeluk mesra pada udara yang sama dengan hio nenek, begitu pula lah akhirnya keyakinan satu dan mesra, damai dalam diam tanpa embel-embel saya dan kamu.

Minggu, 01 Juni 2008

empty god

Perwujudan Tuhan dengan segala tingkahnya menjadi wacana yang cukup seru untuk Aku dan kawan-kawan seperkuliahanku bahas malam kemarin. Topik itu mencuat seiring kisahku tentang kawanku yang beberapa waktu lalu saling berdebat dengan Aku. Melalui percakapan lewat telepon Aku dan Kawanku yang satu ini, (dalam hal ini seorang wanita.red) bercengkrama dan akhirnya percakapan terdorong lebih banyak pada arus yang mengetengahkan Tuhan.

Curahan hatipun kulakukan pada kawan-kawan sekuliahanku yang menanyakan bagaimana kondisi hubunganku dengan kawan wanitaku, apakah menunjukkan suatu perkembangan signifikan,dll. Pertanyaan itu kumentahkan dengan menyebut kawanku tadi terlalu banyak terpaku pada Tuhan sebagai Pusat, kalaulah tak boleh dibilang bias dan fanatik.

Berganti dominasi percakapan kemudian digilir oleh kawan-kawanku yang awam membicarakan tentang Tuhan dari segala sudut pandang mereka masing-masing. Dengan agak tercengang nyatanya pembahasan yang dikulik oleh orang-orang awam ini membuahkan suatu pemikiran yang lumayan cerdas dan brilian.

Berkat dan kutuk, anugerah dan musibah itulah yang selalu dihubungkan dengan kualitas Sang Pencipta. Pelbagai sifat Sang Allah itu ditunjukkan dan dibuat dengan historitas dan penyesuaian terhadap alam pikir manusia. Ke-Allah an yang seharusnya utuh menjadi terpecah dalam diri tiap-tiap insan. Bagaikan mengalami brain wash Tuhan dicitrakan dan dibudayakan sejak kita kecil hingga mengalami tahap kedewasaan.

Pembentukan citra Tuhan tidak pelak lagi akhirnya mengalami resiko pembenturan dengan berbagai nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Ambil contoh nilai Tradisi yang dianut umat Buddhis dan sebagian kalangan mengenai penghargaan terhadap leluhur dengan melakukan sembahyang menggunakan hio, dilihat dari kacamata agama tertentu kadangkala dianggap sebagai ritus penyembahan berhala.

Sulit memijak di garis mana sesuatu itu diabsahkan benar atau tidak, kala sesuatu menyangkut nilai yang berlaku dalam masyarakat. Tetapi secara garis besar, terus terang kaum awam ini tidak hanya menggunakan secuil otaknya untuk membedah agama akan tetapi menguliknya dari sisi pengalaman dan nurani.

Penuturan salah seorang kawanku merangkum pernyataan Tuhan dalam bahasa yang sederhana namun kompleks dalam kata. "Tuhan itu Abstrak" bunyinya. "Menomorsatukan Tuhan bisa jadi hal yang benar atau salah tergantung dari sisi mana kita memandang. Bagi saya, lanjutnya lagi, menomorsatukan keluarga atau orang-orang di sekeliling kita adalah langkah utama memaknai Tuhan, bukan dengan menomorsatukan Tuhan itu sendiri."

"Mengapa demikian?" tanyaku seketika.

"Ketika Aku ataupun kamu menghormati, menghargai dan menunjukkan cinta kasih kepada orang-orang disekeliling, sesuatu yang tersentuh atau tergenggam, maka itu lebih nyata, realistis ketimbang menomorsatukan sesuatu yang tidak pernah Aku ataupun Kamu tahu keberadaannya. Melakukan hal-hal bertema positif terhadap sesuatu yang ada disekitar yang wujudnya ada, faktual lebih dan lebih, pada ujungnya menunjukkan bahwasanya kita dapat melakukan hal yang sama terhadap sesuatu yang kita tak pernah lihat atau genggam yang kita asosiasikan bersama dan diberi label 'Tuhan'."

Ramai meributkan soal agama temanku yang laen berceloteh bahwasanya Tuhan bukan sesuatu untuk diperebutkan kebenarannya. Agama dan Tuhan kadangkala hanya dapat dijadikan penolong dan pencerah jiwa sesuatu yang disebutnya demikian "Buddha dalam hati, hati nurani".

Akhirnya kembali terhadap insan individu ketika Tuhan dan Agama dibasiskan menjadi satu kebenaran yang nyata tak pernah Ada dan hanya terangkum seperti kata kawan-kawan saya Tuhan itu abstrak, tak terlihat, tak tergenggam juga tak bisa dibahasakan, kadang terasa khayal tapi terkadang nyata adanya, hati nurani.

Dan untuk kalian semua kuposting artikel ini, Tuhan-Tuhan kecil dalam hidupku yang ketika kusatukan dari serakan pribadi masing-masing jua tak pernah utuh. Sekarang tak benar tahu ada tidaknya Tuhan dalam hidup tapi bukankah hidup itu proses dan sampai menutup mata Tuhan adalah proses PENCARIAN....

Kamis, 29 Mei 2008

rambu peringatan

Entah untuk yang keberapa kali istilah 'pelanggaran' kemudian dikonsumsi menjadi bagian yang wajar dari rutinitas hidup. Bagaikan berjalan berdampingan pelanggaran kemudian beriringan dengan istilah disiplin. Blog ini pertama ku buat untuk menunjukkan sedikit simpati yang mentah kepada seorang sahabat karib saya yang melakukan pelanggaran lalu lintas beberapa minggu lalu, sekaligus rambu-rambu peringatan kepada diri sendiri.

Menyimak kasus pelanggaran yang dilakukan kawan saya, memang benarlah kawan saya melakukan tindak pelanggaran lalu lintas dengan melanggar rambu-rambu. Tindakan yang berlaku umum kemudian diterapkan oleh kawan saya dengan menerapkan 'sistem atur damai', sistem yang tidak lagi terasa asing karena biasa. Penindak hukum disini bukannya turut menerapkan garis-garis aturan yang ketat malah ikut terlibat malahan terlihat lebih senang dengan sistem yang "damai".

Tindakan pelanggaran yang dikonsumsi tersebut kemudian turut menjadi bagian dari tindakan indispliner yang saya lakukan hari ini. Ketika jam makan siang berlangsung, saya mencuri waktu dengan alasan tidak masalah terlambat sedikit toh pekerjaan yang akan saya lakukan hari ini tidaklah terlalu banyak. Dan dengan alasan itu pulalah akhirnya saya menyetujui ajakan teman untuk sekadar berjalan-jalan di mal, "cuci mata" kata teman saya sumringah.

Setelah berpikir dengan segenap daya upaya nyatanya tindakan membolos ataukah tindakan indispiliner jarang sekali saya lakukan ataulah kalaulah boleh dibilang ini tindakan yang pertama bagi saya. Motivasi tindakan kali ini lebih didasari atas RASA IRI pada mulanya. Atasan yang di kantor memanfaatkan waktu luangnya untuk sekadar jalan-jalan ataukah kungkow2 di mal, rekan sekerja yang juga turut melakukan tindakan yang sama, pokoknya jadi panas rasanya hati ini.

Patron-patron hitam pelanggaran yang semula kecil-kecilan ini kemudian ditolerir sehingga abstrak diterima umum. Membolos disekolahan dijadikan tren anak muda, para pegawai negeri yang menjadi pegawai tinggi (matahari udah tinggi di langit baru mulai ON) yang saban pagi sibuk ngumpul ngerumpi di warung-warung coto, ngebolos.

Dalam budaya yang dicitrakan oleh individu per individu secara kontinuibilitas akhirnya menjadi citra massa. Budaya iri, ikut-ikutan, gak mau tahu dan akhirnya kemudian digawangi dengan istilah ngetren yang menjamur 'cuek aja lagi' menjadikan berbagai tindakan pelanggaran akhirnya mendapat pemakluman.

Skala kecil tersebut kemudian berubah menjadi organisasi massal yang ditunjukkan oleh berbagai organisasi di negeri kita ini. Sebagai contoh gerakan kemahasiswaan ramai-ramai melakukan demonstrasi atas nama rakyat yang dilakukan secara kontinuitas tanpa mempertimbangkan pelanggaran yang sedang dilakukannya. Tindakan indispliner sewaktu jadwal perkuliahan berlangsung akhirnya menjadi kontras dengan menempatkan individu yang berteriak-teriak melakukan demo dengan individu lainnya yang di demo. Pelanggar menunjuk pelanggar.

Ada baiknya menempatkan diri masing-masing dalam penempatan yang tepat sehingga subjek dan objeknya menjadi nyata terlihat. Dan akhirnya dilihat dari segi manapun subjek dan objek pelanggaran sesungguhnya akan kabur terlihat karna batasan sudah menjadi budaya dari masyarakat di negeri ini