Minggu, 14 Desember 2008
harapan sebuah malam
agar senantiasa kudengar suara langkahmu
memasuki mimpiku
Jumat, 14 November 2008
engkau
ataukah terkekeh karna aku menghamba pada Tuhan yang salah?Katamu Tuhan itu jauh sangat,
tapi aku menemukannya sangat dekat padaku.Dia ada diantara berpasang bola matamu,
mengawasiku hingga Aku menggelepar dalam ketiadaan.
dan jawabmu Tuhan seperti angin tak berlengan, berkaki, lagi tak berindera
Tergoda untuk menyelidik pada pusat semestaku, Tuhanku.
Engkau berlengan, berindera lagi berkaki,
tetapi tatkala Engkau jauh direnta zaman dan diuap angin melayang menjadi roh,
Aku kemudian menemukan jawab ini.
Rohmu tak berlengan tapi senantiasa merengkuhku dalam hangat,
tak berkaki tapi senantiasa selangkah dihadapku menghantuiku lewat isyarat yang ditangkap inderaku.
Lagi tak berindera karena segenap inderaku yang berpasang menjadi satu denganmu.
Aku punya Tuhan yang salah, rasa Cinta yang tak bermaksud.
Kamis, 30 Oktober 2008
architect, create your own life
CALCUTTA, KAMIS - Sebuah bank di Kota Calcutta, India membuka sebuah rekening untuk seorang pengemis yang telah mendepositokan 91 kilogram koin di salah satu brankasnya. Laxmi, sang pengemis itu mengatakan bahwa dia telah mengumpulkan dan menyimpan koin tersebut saat dia mulai mengemis. Saat ini sudah lebih dari 40 tahun dia mengemis gara-gara polio yang diderita sejak masih kanak-kanak. "Saya menyimpannya untuk saat dimana saya sudah tidak bisa lagi mengemis," ujarnya kepada BBC. "Saya tahu suatu hari saya akan menua dan sakit-sakitan. Karena itu saya menyimpan seluruh uangku untuk masa pensiun. "Sekarang buah dari upayanya mengemis di perempatan jalan di Calcutta utara ini mewujud. "Dia bisa menjadi model contoh untuk membangkitkan semangat banyak orang dalam menabung," ujar TK Haldar, manajer Bank Central India cabang Maniktola.Percontohan. Mungkin hal itu yang paling sulit untuk kita tiru menyangkut hal-hal baik dalam segala aspek hidup ini. Laxmi mungkin salah satu contoh positif bagaimana seseorang dalam masyarakat kelas bawah yang hampir sama dengan golongan kelas bawah lainnya di Indonesia ini, mengusahakan takdirnya tidak dengan berpangku tangan tetapi menjadi arsitek untuk segala rencana hidupnya.Dengan jujur dan secara pribadi kekaguman saya membuat saya dapat mempredikatkannya sebagai 'pahlawan'. Pahlawan mungkin tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi bagi banyak orang lainnya di luar sana yang termotivasi atas tindakannya.
Tindakan arsitek juga turut digambarkan oleh Ibu Muslimah. Ibu Muslimah yang kukenal hanya dari tontonan layar bioskop "LASKAR PELANGI" menularkan agresivitas dan apresiasi kepada banyak orang diluar sana. Melalui tindakan nyatanya yang percaya pada keutuhan mimpinya di masa depan kepada hak setiap anak untuk mengenyam pendidikan Ibu Muslimah akhirnya dengan tulus ikhlas menyerahkan kehidupannya walaupun hanya sebagai seorang guru miskin."Tidak perlu orang jenius untuk menggantungkan bandul takdirnya" mungkin itulah kacamata yang dapat kulihat dari kedua wanita dari dua sudut dunia ini. Menjadi arsitek barangkali kata itulah yang setali menautkan dan entah aku dapatkan dari mana tetapi kata-kata selengkapnya berbunyi seperti ini :
Kamis, 23 Oktober 2008
Aku, Ibuku, Dia dan Sebentuk Gunting Kuku
Suara nyiru itu barangkalilah yang lebih sering kudengar bila dibandingkan dengan suara Ibuku sendiri. Bila suara nyiru itu menghilang mestilah Aku tahu kemana Ibuku berada. Kalau tidak bersiap di dapur mempersiapkan jajanan yang akan dibawanya keliling, pasti saja siap dengan luku dan cangkul membantu Ayahku di pematang sawah.
Kehidupan yang serba hemat kala itu apalagi dengan tidak menyewa pekerja untuk membantu kegiatan harian di sawah membuat pundi tabungan kami selalu lebih tersedia. Usaha warung pun dirujuk Ibuku dengan hampir tanpa lelah. Kegiatan pun diisi hampir sehari penuh dalam diam. Pagi dengan suara beras dan nyiru, siang diisi dengan suara orang bising di warung, sore dengan suara hening dimana di kejauhan sepasang orang berdiri dengan luku dan cangkulnya.
Tahun berganti dan kehidupan di desa menjadi tidak sama lagi. Impian yang terlalu tinggi akan kerlap kota membuat urbanisasi tak terelakkan. Sawah-sawah pun dijual dan inilah pertaruhan yang nantinya merupakan awal dari kehidupan keluarga kami. Ayahku membeli sawah-sawah tersebut dengan harga yang tentu saja lebih murah dari harga pasaran saat itu.Sedikit demi sedikit hektaran luas tanah menjadi milik keluarga kami. Walaupun demikian Ayah dan Ibuku masih bersikap sesederhana dulu. Pekerjaan yang dulu Aku pikir hampir tak ada habisnya kini digenapi lebih dengan sekuat tenaga dan waktu.
Bertahun kemudian Keluarga kami menjadi salah seorang petani sukses di Desa. Impian untuk menyekolahkanku di Kota menjadi bukan sekadar mimpi muluk-muluk tetapi perwujudan nyata. Saat itu usiaku beranjak 18 tahun ketika Ayahku menyuruhku mengemas barang-barangku "Seminggu dari sekarang Engkau mestilah menjadi bagian dari pemuda-pemuda kota itu, Anakku" bisiknya kala itu.Malam terakhir sebelum keberangkatanku kusempatkan diriku bermanja-manja di samping Ibuku. Aku duduk didekat dirinya yang sedang duduk serius menonton televisi dengan kedua tangannya sibuk memainkan ayaman ketupat satu persatu. Kuawasi dirinya dengan kulit legam terbakar mentari dan sinar kelelahan yang sayu di kedua bola matanya. Kuku jarinya menghitam tercampur tanah.Saat itu dengan sedikit inisiatif kuhentikan gerakan tangannya yang menjahit ketupat-ketupat itu, kugenggam sebentar lalu kuambil gunting kuku dekat meja TV. Aku mematuk-matuk patah semua kukunya hingga rapi. Pekerjaan itu pun kulakukan dalam sedekap kediaman kami. Hampir selesai adanya ketika Ibuku berseloroh "Seperti kuku, ada kalanya sesuatu harus dilepas dari jemari kita seperti Aku merelakanmu lepas dan tumbuh menjadi pemuda yang baru."Benda terakhir yang kuselipkan ke sampiran tasku sebelum keberangkatanku mungkin hanya sebentuk gunting kuku dan dua helai jemari kuku Ibuku yang terserak disebuah plastik pembungkus obat. Aku mengumpulkannya seketika untuk mengingatkanku betapa sebuah kuku berbau tanah desaku adalah mula awalku.
Aku terdiam sambil mengira-ngira siapa wanita itu. Bermenit kemudian barulah kusebutkan nama Ayahku melengkapi pertanyaannya tadi. Dibukanya pintu itu lebih lebar sambil mempersilakanku masuk dan berceloteh tentang Ayahku dengan tangan menunjuk-nunjuk ke pematang sawah yang terentang.
Hampir malam ketika Ayahku pulang ke rumah. Dengan bersegera Aku menghampirinya dan mataku otomatis ingin menangkap sosok bayang Ibuku yang senantiasa berlindung dibalik punggung Ayahku. Tapi kali ini tidak ada sosok itu dibelakang punggungnya.
Ayahku tidak lagi berpakaian sederhana. Dia memakai pakaian khas mandor pedesaan. Aku menyapa Ayahku yang sebentar kemudian hampir terasa asing. Jeda kediaman kami mau tak mau membuatku mengalihkan pandanganku pada sosok wanita yang sejak tadi duduk mengawasi kami.
Kali ini wanita tadi tersenyum lebih lebar, sikapnya menjadi lebih manja hampir dibukanya mulutnya tetapi diurungkannya ketika dilihatnya seorang masuk dari pintu samping. Wanita yang satu itu hampir tak terurus, rambutnya digerayangi uban, kulitnya legam selegam bayangan, matanya tak dilirikkannya sampai suaraku memanggilnya "Ibu?" begitu sahutku.
Suaraku membuat kepalanya meneleng sedikit, kemudian dengan bergegas dia menghampiriku, mengerjap-ngerjapkan matanya seakan tak mempercayai pandangannya dan hampir tanpa suara menarik tanganku dengan keras sehingga kami, Ibu dan Anak berlalu dari ruangan itu. Aku sampai pada sebuah ruangan dengan ranjang besi didalamnya dan perabot sederhana dan lampu berwarna kuning ketika ditutupnya pintunya, dihampirinya Aku dan tanpa banyak kata sebuah tamparan singgah di pipiku."Aku tidak menyuruhmu untuk pulang" begitu sahutnya dengan nada tertahan. "Aku hanya rindu" sambungku dengan bingung. Dan seketika tangisnya meledak keluar. Dibelakanginya diriku dan disuruhnya Aku keluar.Hari itu seluruhnya merupakan teka-teki sampai keesokan harinya tanpa sengaja kulihat Ayahku pagi itu keluar dari kamar lainnya, kamar wanita itu. Segera saja tanpa ucap pun Aku tahu peran wanita itu dalam keluarga kecil kami. Bak beras yang ditaburkan di atas nyiru itulah Ibuku dan wanita itu laiknya buah padi yang menguning dalam masa keemasannya untuk dituai.Saat itu tamparan Ibuku tidak terasa lebih sakit daripada apa yang kuketahui sekarang. Keputusan Ibuku pun untuk tidak mengizinkanku pulang akhirnya terjawab sudah. Udara sejuk pagi desa menjadi sesak oleh bau semilir tubuh wanita itu yang merapat didekatku tatkala membukakanku pintu.Kenyataannya diperjelas dari sepotong-sepotong cerita yang kuperoleh dari tetangga-tetanggaku. "Semenjak dahulu, Kecantikan dan kemudaan adalah senjata" begitu dengus nenek yang mengenalku semenjak kecil ketika hal itu kutanyakan.Tidak lain motifnya juga turut diperkuat oleh keinginan Ayahku untuk memperoleh seorang anak lelaki lagi. Tetapi karena kehendak Sang Dewata lain lagi. Wanita itu tidak kunjung hamil juga walau malam demi malam Ayahku menghabiskannya di bilik kamarnya.Tangisan Ibuku saat kepulanganku menjadikanku tahu bahwasanya tidak ada yang lebih indah untuk dirinya daripada seorang Aku yang selalu dilindungi dan dihindarkannya dari kepahitan. Kenyataannya rasa dendam akhirnya melingkupi kurung hatiku jua. Aku menyusun rencana laiknya sinetron untuk mengenyahkan wanita itu dari keluarga kecil kami.Yah, kecantikan dan kemudaan adalah senjata dan diusiaku yang 26 tahun ini kudapati fisik yang sempurna. Otot kekar masih menyembul dari badanku, wajahku yang biasa saja dibaluti misteri kediaman Ibuku yang dominan membuatku tampan bagi sebagian orang, termasuk wanita itu.Ketika Ayah dan Ibuku bergerak ke kehijauan sawah, mestilah wanita itu sibuk bergerak mendekatiku dengan segala daya tarik pesona yang dikira dimilikinya. Aku pun meladeni kemanjaannya dengan maksud tertentu. Aku bermaksud agar nantinya ia bisa kubujuk rayu ke kota meninggalkan Ayahku hingga sesampainya di kota Aku dapat saja dengan leluasa mencampakkannya."Kamu penuh pesona Met" begitu sahutnya suatu kali.
Begitu keluar dari kamar wanita itu segera disuruhnya Aku mengemas barang-barangku untuk secepatnya mengejar kereta malam itu kembali ke kota. Ibuku berdiri mematung saat itu, sekonyong-konyong menghampiriku lalu memelukku sambil menangis terisak.
Dimasukkannya jemarinya dalam genggaman tanganku sampai jari kami merasakan benda dingin ditengah telapak kami. Sebentuk gunting kuku. Aku menyerahkannya ke telapak tangannya sambil berbisik "seperti kuku, ada kalanya sesuatu harus dilepas dari jemari kita, dan Aku melepaskan segala beban resahmu pada wanita itu"Ibuku menggeleng dan menangis sejadi-jadinya sambil berbisik pahit "Kalaupun Aku kehilangan cintaku pada Ayahmu, tak ingin kehilangan cahaya bahagiaku disisimu Anakku."Sebentuk gunting kuku kini bergulir ditengah telapak tangan legamnya ketika Aku memasuki gerbong-gerbong kereta itu. Kereta bergerak menerabas dingin malam ketika wanita itu hilang di kejauhan.Aku mengetahui kabar dari Desaku tidak lama kemudian. Wanita itu turut diusir juga dari rumah kami, Dia akhirnya kehilangan Ayahku. Ibuku kehilangan Aku, anaknya.dan tentang Aku?Aku kehilangan banyak waktu yang harusnya bisa kuanyam dengan Ibuku di latar desa dengan anak sungai sepanjang kasih Ibuku. Aku baru berani kembali bertahun-tahun kemudian ketika Ayahku memanggilku karna Ibuku menderita penyakit keras dan mengigau tiap malam memanggil-manggil namaku.Di bunyi yang didengungkan surau subuh itu Aku kehilangan Ibuku akhirnya setelah bergelut sementara setelah Aku kembali disisinya. Benda terakhir yang kudapati di bawah bantalnya hanya sebentuk gunting kuku. Dan kembali kudengar suara Ibuku saat itu "Seperti kuku, ada kalanya sesuatu harus dilepas dari jemari kita seperti Aku merelakanmu lepas dan tumbuh menjadi pemuda yang baru."Ini hanya kehendak Tuhan Aku bisa melewatinya, tapi Aku tak bisa melupakannya...Rabu, 01 Oktober 2008
sepasang
Senin, 15 September 2008
24
bersendiri terlahir dan hari memang sendiri.
tak ada kado hanya kata yang menguap,
sembari tak bersisa
dan aku hanya penuh oleh waktu
yang berdetak nyaring dalam hampa.
karna Aku butuh Engkau
untuk nafas yang ingin kuraih bahagia,
pada hidup yang ingin kulabuhkan dengan
rasa sederhana, Bahagia.
dengan dua tangan menangkup doa di dada,
tanpa sebuah permintaan, apalagi harapan
Terima Kasih, Tuhan.
meski tak tahu
Kamis, 14 Agustus 2008
be it unto me
"Karna Dia tidak senaif kamu yang selalu mempertanyakan. Dia hanya berserah dengan sedikit kata yang terpatri selalu Jadilah padaku seperti yang Engkau kehendaki...."Kala itu sahabatku memelukku dan berkata demikian "Be it unto me"
Dan demikianlah bilamana ada yang bertanya kepadaku "Mengapa Maria?" jawabnya selalu pada kesederhanaan kata "Be it unto me- Jadilah padaku seperti yang Engkau kehendaki.."Bahkan ketika seorang wanita sezamannya didaulat hamil tanpa seorang suami, saya pikir tak ada yang seikhlas Maria dalam mengamini segala sesuatunya. Jin, tuyul ataukah malaikat yang akan dikandungnya kelak tidak ada jeda tanya untuk itu. Hanya kepercayaan sederhana yang diberikannya kepada Tuhannya selalu.
Kamis, 07 Agustus 2008
leaf four clover;suatu logaritma keberuntungan
Jejak memorable hoki tergurat di angka 8 tahun ini. 888.... Hoki? Keberuntungan? Inilah mungkin yang selalu diharapkan untuk selalu turut serta dalam sentuh corak hidup kita. Seakan inilah penyemarak yang selalu diiringi sorakan kala kita mendapatinya singgah di hidup.
Saya sendiri bisa secara otomatis lebih memilih kata in gold i am trust, dengan kemungkinan sifat manusiawi yang lebih kuat membatini saya.
Suatu kali pernah terpaku membaca sebuah cerpen yang dimuat di sebuah harian kotaku berjudul "Doa yang mengancam". Cerpen itu kalaulah kuingat kembali lebih berkisah bagaimana tokohnya dengan mengharap sedikit keberuntungan melakukan tawar-menawar keinginan dengan Tuhan-nya. Tak ada yang salah. Kita melakukan itu juga acap kali, dengan rasa hati atau permintaan yang barangkali lebih diperhalus entah karena kita takut pada kemurkaan Tuhan, entah... Dengan mengharap keberuntungan pulalah, maka pada tanggal 08-08-2008 yang menggerakkan orang-orang berbondong melakukan ritual pernikahan, kelahiran anak (melalui caesar.red) atau kepentingan-kepentingan lainnya dengan seabrek harapan. Keberuntungan dan Harapan seperti hampir terpaku erat sekoin untuk dibagi bersama. Law of attracttion, itulah yang diulas oleh Prof. Richard Wiesman yang lewat bukunya "The Luck Factor" mencoba mengurai bagaimana keberuntungan melingkupi dunia kita.Survey yang dilakukan Wiesman ternyata mendapati bahwasanya keberuntungan diperoleh atas sikap dasar positif terhadap segala sesuatunya dan harapan yang besar bahwa segala sesuatunya akan berjalan baik. Belajar dari rahasia berpikir positif dan selalu mempunyai harapan pulalah maka tak ada salahnya kalaulah kita dapat sedikit saja diam mengkritisi sesuatu. Ketika hari ini membuka blog dan mendapati blog saya sedikit banyak berisikan kesinisan dan kritisi, maka tak ada salahnya hari ini menu yang ditampilkan disajikan berbumbu unik kata bernama Keberuntungan dan Harapan.
Dengan harapan pulalah, Saya berharap orang-orang yang kebetulan mampir, numpang lewat ataupun yang sengaja membaca serius blog ini dapat menularkan hal-hal positif kepada orang-orang di sekitarnya. Semoga beruntung!!!
Jumat, 25 Juli 2008
pernikahan dalam selembar amplop
Di awal bulan ini, beberapa acara resepsi pernikahan merebak mengunjugiku, bertamu dengan hanya selembar surat undangan di mejaku setelahku kerja dan kembali pulang ke rumah seperti ditodong untuk bersua dengan tetamuku tadi. Kehadiranku di setiap nuansa kebahagiaan pernikahan mempertontonkanku bahkan seperti yang digaung-gaungkan oleh tiap MC-nya bahwasanya inilah akhir penantian setiap pasangan, bersatu dan terikat dalam sakralitas Cinta dan Tuhan.
Paket-paket kecil itu menyajikan surga yang wah as usually tentunya.
Yang mengingat dan yang berlupa, mungkin itulah gambaran yang akan sangat tepat bilamana kabur jejak antara pertemuan dan perpisahan. Dalam suasana keriuhan seperti tidak ada yang sadar bahwa inilah detik-detik perjumpaan dan perpisahan merangkul erat. Orang tua harus rela kehilangan anak-anaknya untuk bersua dengan orang lainnya.
Satu dan lain cara yang dihimpun pun tidak bisa menghindarkan hukum yang bekerja. Beriringan, satu jalan.
Pernah suatu kali terpikir olehku dengan imajinasi fantasi bahwasanya warna undangan pernikahan yang rata-rata dipilih kemungkinan didominasi oleh warna merah ataukah putih dengan alasan adanya pertumpahan darah. Kelahiran baru, karakter baru.
Pertemuan dan perpisahan mengguratkan makna eksistensi kehadiran masing-masing dari kita. Meski demikian tidak semua orang lantas mengamininya. Seperti seorang anak kecil dengan manjanya kita tidak bersedia kehilangan hal-hal yang menurut kita menarik.
Tetapi apapun daya upaya kita semua berjalan seperti semestinya. Bentuk kesadaran itu pun kemudian ketika dikaitkan dengan sakralitas Cinta dan Tuhan seperti menemui jejaknya sendiri.
Pertemuan, Perpisahan, Cinta dan Tuhan menemukan kesadarannya dalam sakralitas rasa pahit-manis akan pemahaman kita masing-masing. Gambar realitas Pernikahan pun akhirnya menggabungkan semuanya akan jejak ke depan, sebuah jejak yang ketika dilangkahi pun masih penuh misteri.
Rabu, 16 Juli 2008
only hopeless in pandora box
Saya merasa cantik saat saya memikirkan bagian dalam diri saya. - Nelly Hayatghaib.
Bisa jadi kata-kata itu diciptakan Nelly ketika melihat dari layar kaca ratusan wanita melenggok diatas pentas dan turut merasakan dirinya hadir disana berjalan dengan daster diatas pentas, dan tetap merasa cantik, bahkan dia yang mendapatkan mahkotanya.
Yah, Harapan.
Bahwasanya Harapan yang merupakan satu-satunya yang tersisa dari kotak kecil Pandora adalah hanya satu-satunya jalan menuju Kemenangan. Kemenangan bagi diri sendiri. Impian bukan sekadar untuk digantungkan pada orang lain, tetapi seyogianya bertumpu pada diri sendiri. Merasa diri sendiri adalah Pahlawan dan Sang Pemenang.Dan pada waktunya seperti kata-kata yang dituliskan Pliny the elder "Harapan adalah tiang yang menopang dunia. Harapan adalah mimpi orang-orang yang sedang tidak tidur. Jangan pernah tertidur untuk terus mengurai harap dan mimpi menyaksikannya sebagai layar kaca kemenangan Anda pribadi dimana Anda ataupun Aku menjadi persona Winner bagi diri kita sendiri.Jumat, 04 Juli 2008
still hurt but also still survive;to fight
Rabu, 25 Juni 2008
sebuah kelahiran bernama kebahagiaan
Senin, 23 Juni 2008
mencatat cacat dengan cat yang tak lagi pucat
untuk Supriadi
Minggu, 22 Juni 2008
Bank Budi, jejaring pembayaran dimuka
Jumat, 20 Juni 2008
shirayuki
Senin, 16 Juni 2008
the world of study that i know
Melalui percakapan dengan seorang teman saya yang berprofesi sebagai seorang dosen muda Dia turut mengungkapkan berbagai permasalahan kompleks yang kronis, in serious condition di wilayah kampus tempatnya mengajar.Kualitas pendidikan tidak lagi dicorongkan sebagai murni khazanah ilmu tetapi lebih sebagai 'profesi yang menghasilkan'.
Seorang mahasiswa mengeluhkan bagaimana dosennya yang mengikuti kegiatan MLM turut berjualan dengan menyangkutpautkan pelajaran yang diajarkannya dengan jualannya.Berikut celotehan yang dilontarkannya kawan saya itu melalui chat ym :
"katanya ada tugas mau dikasih terus disuruh datang ke jalan apa gitu.Apa yg terjadi disana mereka disuruh dengar seminar MLM XXX ampe jam 12 malem, banyak mahasiswa yg nggak tahan lari pulang.Tahu apa yang dia buat?Absennya disilangin 2 kali.Ada yg memberanikan diri bertanya mau pulang terus dia bilang ini blum selese abis itu baru dia kasi tugas."
Bagian-bagian dari pengalaman pribadi saya selama masa-masa mengecap bangku pendidikan hampir sama baku-nya dengan pengalaman sebagian siswa/mahasiswa/i yang tunduk patuh menjadi budak dari nilai,angka yang terumus dalam ijazah ataupun laporan pendidikan lainnya.
Ironis ketika pendidik dan terdidik akhirnya menempatkan diri dan menandai wilayahnya masing-masing dengan cara yang berbeda.Dengan satu dan lain hal siswa menempatkan dirinya kadang sebagai pemberontak sedangkan pendidik sendiri berdiri dibawah bayang abu-abu yang takkan dapat disentuh.
Pemberontakan dalam menunjukkan jati diri, to fight akhirnya diterjemahkan salah oleh seseorang, sekelompok ataupun segelintir individu.Ambil contoh bagaimana mahasiswa/i kita mengecat dunia pendidikan kita dengan label DEMONSTRASI.Segala hal yang terjadi di negeri kita ini jujur saja tampak harus dipertanggung jawabkan lebih kepada mahasiswa/i daripada elite negara.Fiuh,Miris dan itulah yang terjadi ketika dunia pendidikan kita akhirnya diwarnai oleh berbagai warna pada wajahnya menampilkan topeng-topeng yang sebagian besar termarjin dipenuhi kecacatan.
Dan pada akhirnya ketika aku bertanya apa saja syarat menjadi pendidik kepada kawanku yang dosen tadi berikut ini jawaban yang dicetuskannya : "kamu harus benar2 jujur, punya kemampuan untuk belajar dan mengajar....kerelaan untuk berbagi sama org ilmu yg kamu punya..bukan dgn cara2 rendahan."
Titik temu dari semua jawabannya tadi akhirnya merumuskan bagaimana obat yang kira-kira diperlukan oleh dunia pendidikan kita ini, Kejujuran dan Kerelaan yang bermuara pada kesimpulan Tulus Mencintai.
Hubungannya?
Ya.Dunia pendidikan kita butuh individu-individu yang punya ketulusan untuk mencintai ilmu sebagai sesuatu yang murni, tanpa motivasi apapun juga.Individu yang belajar mencintai ilmu seperti seorang anak kecil yang selalu dihantui rasa ingin tahu.Dan mungkin saja topeng ini akan dilakonkan dengan baik ketika seorang pendidik ataupun terdidik mulai berani berkata dengan polosnya Siapalah saya untuk menilai kamu?
Jujur mengakui dan tulus mencinta, eh?
Selasa, 10 Juni 2008
180 degree's
Ketika merujuk pada angka yang memiliki asosiasi tautan makna derajat, bengkokan, perubahan besar laiknya busur panah yang ditarik melengkung, itulah yang beberapa waktu yang lalu diutarakan sahabatku. Pemikirannya bahwasanya ada yang tidak dia kenal dari diriku, changes.
Peringatannya itu secara otomatis langsung memaku alam bawah sadarku pada sebuah lagu yang berkesan punya ketukan yang sama dengan pernyataannya. Liriknya dinyanyikan seperti ini : "kaki dikepala, kepala di kaki..."
Aku kemudian bercermin dan menatap bayangan diri yang jauh sejenak persis sama seperti Aku di hari-hari sebelumnya. Dan apakah yang berubah? Mengamati dengan lebih seksama lagi dan lagi.... dan dengan keras kepala berkata, masih sama tak ada yang berubah. Bahkan melalui meditasi hening sejenak dengan musik melantun ditelinga jua tak menemukan apa yang berbeda.
Dengan bersegera mencari topik alasan membenarkan diri bahwasanya memang tidak ada yang berubah, apalagi bila dikatakan berubahnya sampai pada derajat ke-180. Gelisah, bingung dan mencari sampai ke akar perubahan, tetapi bukankah ada pepatah "balok di depan mata sulit dilihat, tetapi gajah di seberang sana dijangkau lihat jua"
Mungkin sedetik lalu berubah?semenit lalu?berbulan?setahun?bertahun-tahun?
entahlah....
Tidak menang atau kalah dalam pertaruhan dengan kata-kata teman saya itu, hanya tak tahu, gelisah mengikut sejenak dan kemudian mencorat-coret kertas secara serampangan dengan objek angka 180 berulang-ulang.
Apa yang kutemukan memang impulsif ditemukan secara nalar, tetapi akhirnya kutemukan secara tak sengaja saja ketika kulakukan ritual corat-coret tadi. Coba bayangkan atau lakukan apa yang kutemukan waktu itu. Ambillah kertas dan tuliskan angka 180 tadi, kemudian balik angka itu ke derajat 180.
Yup. Inilah hasilnya bilangan 180 tadi menjadi terefleksi ke angka 081. Merefleksi? yah akan seperti begitu juga perubahan, tidak statis tapi juga tidak pernah benar-benar liquid. Sadar ataukah tidak perubahan yang bergerak seperti air punya sifat yang terpaku seperti bilangan-bilangan 1,8 ataupun 0 yang juga ketika dibalik setengah putaran akan kembali ke asal.
Dan ketika kawanku tadi berkata aku "berubah", maka mungkin yang dimaksudkannya adalah titik dimana aku kembali ke asal atau kembali terefleksi, seperti bayangan cermin. Hanya butuh penyesuaian untuk mengenali dualitas ataukah multi "Aku" itu. Semoga saja demikian.
Kamis, 05 Juni 2008
dan sayangnya benar cinta
bahkan walau seringkali pikir membiasakan diri berkata tidak benar, hati berdetak yakin apa adanya.
sayangnya benar cinta,