Jumat, 04 Juli 2008

still hurt but also still survive;to fight

Harian Pagi Fajar Makassar, Sabtu, 5 Juli 2008 pada halaman utamanya menurunkan topik berita dari belahan dunia lainnya, Perancis. Berita tersebut menyebutkan perihal pembebasan mantan calon Presiden Kolombia (2002.red), Ingrid Betancourt dari sekapan kawanan pemberontak Revolutionary Armed Forces of Colombia (FARC), setelah disandera selama 6.5 tahun.

Menguak jendela takdir dari jembatan yang penuh ketidakpastian, terbukti akhirnya memberikan kebebasan yang penuh, dengan napas lega setelah ditempa penuh keputusasaan. "Saat leher Anda dirantai, Anda hanya bisa menerima nasib tanpa melupakan siapa sebenarnya diri Anda. Saat itu, saya mencapai titik dimana saya memahami bahwa kematian adalah hal yang sangat mungkin." ucap wanita kelahiran 25 Desember 1961 itu.

Pada kolom tersebut juga dituliskan bagaimana Betancourt menggambarkan bahwa rasa sakit yang dirasakannya tak ubahnya sebagai serangkaian masalah yang saling bertumpuk. Dia mengaku tidak bisa menjaga diri hingga menjadi kurus, tidak bisa bergerak, dan tidak berdaya. Bahkan untuk minum pun kesulitan. Saat-saat itu digambarkan Ingrid sebagai situasi yang benar-benar kritis baginya.

Pemasungan kebebasan sebagai hak asasi mahluk Tuhan juga turut diurai pada harian yang sama, tetapi dari dalam negeri sendiri, Indonesia. Di wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, tepatnya di kabupaten Bulukumba, dua orang dari keluarga berbeda dipasung oleh keluarganya dengan alasan penyakit jiwa.

Satu perkara yang pelik bergumul dengan keadaan "membenarkan". Tapi pernahkah bertanya?Barangkali tidak. Pilihan dirasakan buntu tanpa jalan.

Kenangan yang sama pernah terurai dari ceritera salah seorang karibku. Kisahnya tentu saja tidaklah sama dengan story pemenjaraan kebebasan diatas. Tetapi barangkali punya persepsi yang sama yang dilakukan oleh banyak orang atas kehendak dan pilihan pribadi.

Cinta yang membutakan.

Aneh? Barangkali tidak lagi, karena pengalaman inilah yang subjektif dan vokal diantara kita.

Sungguh. Berjuta orang melakukannya terjebak dalam kenangan cinta masa lalunya, memasung kebebasan hatinya dengan selalu berkata 'tidak dapat melupakan cinta sejati yang didapatinya'. Tapi benarkah kata bodoh berlabel 'KESETIAAN' selalu benar? Pernahkah anda bertanya kalaulah SETIA kadang ciri perspektif yang salah?

Suatu hari di tengah malam, seorang karib saya bahkan menangis menyatakan betapa Dia setelah sekian lama tidak pernah dapat melupakan kekasih yang dicintainya. Sampai katanya dengan nada tertahan " mungkin dia itu berasal dari tulang rusuk saya". Dan akhir malam itu diakhirinya dengan sebuah sms berbunyi "still hurt but also still survive".

Rasa sakit pemasungan diri sendiri (baca: hati.red) itu justru berujung lebih tragis karena berefek seperti penenang, bius dan anestesi yang berbunyi "survive", bukannya "to fight".

Pada ujungnya ketika diperdebatkan tak penah salah, tetapi juga tidak betul-betul benar. Kebebasan kadang seperti imaji yang didamba tapi tak direngkuh terpatron pada berbagai tetek bengek, terikat pada hal-hal seperti luka hati, pekerjaan, dan pelbagai pergulatan lainnya dengan diri sendiri.

Pemasungan nyatanya menyedihkan dalam segala bentuk dan upayanya. Ini bukan lagi obat yang manjur tetapi luka yang dibiarkan membengkak dan tak pernah sembuh. Ingrid Betancourt, dua orang sakit jiwa di Bulukumba dan karibku mengalaminya sebagai kenangan yang mungkin terburuk sepanjang sejarah hidup mereka. Kebebasan mungkin satu-satunya betadine yang menyembuhkan.

Mari melakukan ritual fang shen, membebaskan segala hasrat dan keinginan dari diri sendiri hingga utuh. Hirup bebasnya.

Tidak ada komentar: