Sabtu, 25 Juni 2011

menceriterakan Ibu dalam ingatan berbulir nasi

Kamu tak pernah memandang Aku lagi semenjak kematian Ayahmu. Entah untuk sebab apa sekalipun, matamu jarang berpaling tatap sejurus panah ke dua bola mataku. Arah matahari mungkin dapat berubah, tetapi kasih Ibu mu ini takkan pernah berubah.

“Saya tak habisnya tahu apa yang terjadi” Amie menggaduk-aduk nasinya sambil berceloteh sendiri dengan tangis yang menderas melimpahi bulir nasi yang ditanaknya. Kegelisahan menyelimutinya, menyulih segala kuak memori yang mempertanyakan sebab. Sebab apa?

Sampai hari berganti dan bulir-bulir nasi yang ditanak dengan air mataku menggembungkan isi perutmu setiap hari, kamu tetap diam. Di meja makan saat Aku mengawasimu makan, kau tetap menunduk sambil memasukkan apa pun tanpa bicara. Kamu tak pernah tahu nasi itu kutanak dengan bulir air mataku.

Ayahmu kah? Batinku.

“Ada masalah apa?” tanyaku kepadamu suatu waktu. Engkau menghentikan suapan sendokmu yang melayang diudara, sendok menggerincing di piring kaca, kamu memundurkan kursimu sambil menggeleng. Tak ada tatap kemataku.

Sejak itu Aku tak berani menanyakan padamu, karna bulir nasiku akan kering mengeras di meja makan kita tanpa kau sentuh, jika Aku menanyakan soal perihal apa. Penolakan mu terhadapku seperti nasi akik yang kemudian mengeras di meja makan kita. Kau membangun tembok dari bulir-bulir nasi air mataku, tanpa pernah kau ketahui.

Beberapa hari kemudian Aku tak dapat lagi memasak nasi untukmu. Karna nasi yang kutanak kadang kala berubah terlalu banyak air menjadikan semangkuk bubur, ataukah gosong kering seperti kegelisahan hatiku.

Aku terpaksa mengawasimu.

Dari Ayi, Zela, Berta dan semua temanmu lainnya tak ada cerita apapun yang dapat kuungkap tentang maksud kebencianmu padaku.

Dari foto almarhumah Ayahmu pun tak dapat bercerita tentangmu. Karena area abu-abu disekujur foto itu mengabukan pandanganku juga.

***

Nasi yang kumakan akhir-akhir ini semakin terasa asin semenjak kematian Ayah. Ayah? Aku menggelengkan sekuat kepalaku dapat melempar ditubuhku menolak dia hadir setiap kali Ibu bertanya.

Lelaki itu dahulu aku panggil Ayah. Ketika itu dia adalah sesosok lelaki setengah tua tempatku menyandarkan dadaku tanpa ragu. Keraguan menyelimutiku suatu waktu ketika Aku beranjak remaja. Ketika itu Aku tertidur dengan lelap di suatu penghujung malam.

Ibuku pulang selalu agak larut di awal-awal setiap bulan. Dari panjang mimpiku yang indah, Aku terbangun oleh suatu selusup lengket di bibirku. Aku ingat aku belum makan malam ini. Nasi berasa pandan wangi yang ditanak Ibuku seperti tersuap sendiri dimulutku.

Tetapi ketika kubuka mataku kudapati bibir Ayahku melekat, tangannya berguncang hebat di selusup payudaraku. Aku mendapatkannya menjadi sesosok monster yang menggerayangiku.

Aku tak dapat berbuat banyak, bahkan dorongan ku menyebabkan dia semakin hebat mengguncangku. Setelahnya kudapati cairan putih lengket seperti nasi diatas perutku. Ereksinya diluar menyebabkan ku jijik.

Sesudahnya Ayahku beranjak dari kamar sambil melemparkan serangkaian ancaman dan teror yang membuatku sungguh takut. Dia bilang kalau Ibu sampai tahu dia akan berkelit dan berkata bahwa teman lelaki ku lah yang meniduriku. Aku akan diusir dari rumah dan dikucilkan.

Malam itu aku menangis, tubuhku juga bereaksi keras dengan mengirimkan air mata hebat ke sekujur tubuhku, keringat dengan peluh dingin membanjiriku. Aku tak berhenti membuka tutup mataku untuk mengenyahkan apa yang baru saja terjadi. Tiba-tiba segala inderaku mencium aroma kejahatan yang memerangkapku dalam rumahku sendiri.

Napasku seketika sesak. Aku beranjak membuka jendelaku lebar-lebar. Dari cahaya lampu yang lamban di luar sana menampilkan siluet bayang Ibuku yang menuju rumah sepulangnya bekerja, aku mulai menanamkan siluet kebencian kepadanya lebih gelap dari terang diluar sana.

Sejak itu di luar rumah dia memperlakukan Aku seperti anaknya sendiri, di dalam rumah dia menyetubuhiku laiknya isterinya sendiri! Dan itu dilakukannya kadangkala ketika setiap kali waktu cukup panjang tanpa keberadaan Ibu di rumah.

***

Sudah untuk kesekian kalinya Aku mengunjungi terapis, psikolog dan seabrek ahli kejiwaan lainnya untuk menyibak segala apa yang terjadi. Masalah ini menghantuiku, aku kembali tak dapat memejamkan mataku. Perutku bergolak dengan serangkain kecemasan tentang apa yang tak kuketahui tentang Zohra, anakku.

Tak ada peluang bagiku untuk menembus benteng tanyaku, kecuali menurut saran para ahli kejiwaan itu aku harus membawa serta anakku dalam sebuah atau beberapa sesi konsultasi, yang tentu saja dengan segera ditolaknya. Penolakan demi penolakan membuat batas kesabaranku habis.

Untuk kesekian kalinya kami duduk di meja makan yang sama dan dengan emosi yang meninggi kudapati diriku memukulkan telapak tanganku ke meja makan tersebut. Seperti kebiasaannya yang sudah-sudah Zohra mulai menghentikan suapannya sambil bergerak memundurkan kursinya.

Dengan langkah sigap, bersegera kudorong kembali kursinya masuk ke tepian meja, kupegang bahunya dengan guncangan hebat aku berteriak histeris “Katakan!” sahutku lantang dengan nada meninggi.

Entah karena alasan apa, dengan bersegera aku melangkah cepat ke ruang keluarga, sambil mengambil foto almarhum Mas Irwan lalu kembali kehadapan Zohra. Kalau ada sesuatu hal yang terjadi mestinya semua ini ada hubungannya dengan ayah kandungnya sendiri, firasatku mengatakan demikian. Bila perlu akan kutarik arwahnya dari alam baka untuk membantuku menjelaskan segalanya.

Zohra mengalami guncangan hebat tatkala memperhatikan foto ditanganku. Dia meraung-raung hebat sambil menangis, gerakan tangannya entah disengaja atau tidak membuat foto itu turut lepas dari tanganku, berantakan dilantai dengan beling kaca berhamburan. Aku terhenyak di lantai sambil menangis pilu.

***

Foto ayah ditangan Ibu membuatku bergidik dan sekaligus mampu membuatku kembali ke alam sadar. Aku meraung-raung sekerasnya mengingat malam jahanam dan minggu-minggu dengan dia berbaring diatas wajahku, menindihku. Jeritanku sekerasnya sambil menggoyang-goyangkan tanganku serasa membantu mendorong apa yang selalu dapat kurasakan menindih di wajahku.

Keping-keping kaca yang berhamburan dibawah kakiku membuat benteng pertahananku roboh sudah. Kepingan yang tesembunyi menguak beserta hancurnya keping-keping kaca di lantai. Melangkah mundur, mengambil jarak dari Ibuku, aku menghenyakkan diri di salah satu kursi diruang makan itu.

Lama kami berdiam sambil menangis. Rambutku terurai acak-acakan, karena tanpa sadar helai-helainya kutarik sedemikian rupa seolah aku dapat mengeluarkan isi pikiranku dari dalam sana.

Sambil menunduk kupandangi nasi yang berceceran di lantai dan dengan air mata hebat berbagai hinaan dan cercaan kualamatkan untuknya. Kuceritakan “kisah pengkhianatanku” sebagai anak tunggalnya dengan suami Ibuku, Ayah. Keping-keping nyata yang harus dia ketahui tentang keluarga kecil kami, yang telah lama tersembunyi muncul di permukaan.

“Sesuatu telah terjadi dan aku tidak mengetahuinya.” Gumam Ibuku menanggapinya.

Walau dengan lunglai dan terbata-bata karena diguncang tangisan yang hebat, ia beranjak ke dekatku berusaha meraihku untuk memeluk. Tapi entah untuk alasan apa tanggapannya yang lebih mirip seperti sebuah pembelaan membuatku memutar diri, berlari dan mengunci diriku dikamar.

Sejak saat itu kami berdua mengambil suatu jarak yang tak terlihat, sampai suatu harinya jarak itu makin menjauh dan Dia menghilang.

***

Surat itu tergeletak diatas meja makan tepat disamping nasi dan lauk yang akan kusantap. Sepi dirumah membuatku berfirasat bahwasanya Ibuku telah pergi. Warnanya yang putih membuatnya bak sebuah kotak pemakaman dimeja makan. Tampaknya sesuatu telah terjadi. Kurobek suratnya dengan segera mendapati keingintahuanku melesak-lesak ingin keluar.

Anakku,

Aku meminta maaf atas pengalamanmu itu. Sungguh betapa panjang pun kuukir aksara dilembar surat ini hanya kata itu yang mungkin dapat merangkum semuanya. Ketika itu menjadi kisahmu, bagian dari sejarah panjang pengalamanmu, Aku tergerak untuk menceriterakan bagianku juga. Sungguh Aku tidak mencari pengampunan darimu dengan menceritakan ini semua.

Tepat dibelakangmu, aku merangkum sejarah masa laluku yang turut kuuraikan sebelum Aku beranjak pergi darimu.

Di meja makan dihadapanmu telah kusediakan bermacam lauk untukmu. Satu yang teristimewa dari semua makanan yang kuhidangkan untukmu, hanya nasi putih berasa sedikit asin. Yah, tahukah kamu bahwasanya nasi itu kutanak dengan air mataku sendiri?

“Yang sebenarnya akan membuat segala hal lain terlihat seperti sebuah kebohongan.” Ya benar itu adanya kehidupanku. Dengan lugas satu demi satu kebohongan yang ku susu kan padamu. Perihal pernikahan kami umpamanya. Tetapi kali ini, Aku sendiri yang akan menuturkanmu sebuah kejujuran.

Pertama kali aku mendapati diriku hamil, ayahmu terpaksa menikahiku. Kalau halnya cinta yang awalnya ingin kusesap dari ikhwal pernikahan ini, aku mendapati pernikahanku dengan ayahmu berisikan serangkaian kegilaan dan fantasi serta kekerasan seksual. Aku mendapati sekujur tubuhku lebam saat kesekian kali sampai aku tak bisa tidur hingga pagi menjelang. Yah dia meninjuku tepat di perut kadangkala barangkali ekspresi dan cara nya untuk mengenyahkanmu.

Itulah awalnya.

Kamu tak tersingkir, itu kenyataannya.

Seluruh pernikahan ini kemudian dimulai dengan kepura-puraan. Ayahmu menjadi sangat jinak di siang hari, tetapi ketika menjelang malam dia menjadi seorang monster yang buas yang entahlah barangkali mulai mengadopsi seksualitas sadoisme, kata orang. Tapi satu hal yang pasti, karena keberadaanmu Ayahmu terpaksa berpura-pura mencintaiku, barangkali itulah adanya.

Setelah kamu lahir, saya sangat takut dengan setiap aktivitas seksual dengan ayahmu. Trauma itu membekas begitu dalam hingga saya mulai mencari pengamanan diri diluar sana dengan mengurai kerja lebih banyak. Satu,dua hari yang dapat kulewati tanpanya akan terasa lebih baik. Satu hal yang tak pernah terpikirkan olehku, keamanan diriku akhirnya menjebakmu, putri kecilku.

Putri kecilku.....kata itu barangkali dapat melarutkan dan membuang sauhnya sejauh-jauhnya ingatku tentang Ibuku sendiri. Sejak ayahku memutuskan untuk pergi dengan wanita lain, aku nyaris tidak cukup mengenal sosok lelaki itu untuk menyimpan perasaan apapun untuknya. Kecuali barangkali sepertimu, sebongkah kebencian.

Saat Ayahku pergi, saat itu juga ada yang padam diantara kedua bola mata Ibuku. Tidak pernah lagi ada tatap di antara kami, dia menghindari segala cetak biru rupa ayahku dalam diriku. Dan tentu saja tak pernah ada lagi Sang Putri Kecilnya, sampai dia wafat kemudian.

Barangkali pertaruhan itulah yang membuatku memutuskan menahankan segala kesakitanku bersendirian. Dua bola mata yang memandang penuh cinta, itulah seluruh yang ingin kuberikan padamu. Bola mata kirimu boleh untuk ayahmu apapun adanya dirinya tak perlu kau ketahui dan yang kanan untukku, dan atau sebaliknya.

Entah. Cinta, hanya itu yang kuinginkan. Seluruh isi duniaku sudah terlewati dengan banyak kebohongan dan sebongkah penyesalan. Kalau saja aku dapat merubah mata Ibuku, suamiku atau bahkan putriku sendiri untuk memperoleh cinta, aku mungkin salah satu orang yang nantinya dapat wafat dengan penuh bahagia.

Pada bulir-bulir nasi itulah ratap kosong yang kupanaskan untuk kujejalkan dalam perut kalian agar turut merasakan sedih hatiku. Itu barangkali bagai sihir, eh?

Di meja makan ini, aku mencoba memasakkanmu semangkuk nasi tanpa air mata, tetapi tetap saja aku gagal. Aku gagal meraih cinta dari setiap orang di sekelilingku. Aku pergi anakku, jaga dirimu. Dimanapun kamu berada, yakinlah bahwa aku senantiasa merindukan engkau memandangku. Aku selalu memandangimu.

Maafkan Ibu...

***

Dia menghilang. Makin hari pintu-pintu kesepian menyesakkanku. Pintu sebuah maaf. Aku mencarinya dari sanak saudara, famili yang kupunyai sampai segala sahabatnya yang kukenal. Entah sudah berapa langkah yang kupunyai menelusuri jejaknya, tetapi satu yang sangat pasti kuketahui, langkah terakhir yang kupunyai adalah menuju Ibuku.

Hari berganti hari, dan hari ulang tahunku akhirnya tiba.

Akuselalumemandangimu, Akuselalumemandangimu, Akuselalumemandangimu.

Bunyi itu mengeras dari sudut-sudut jiwaku. Kalau ada firasat yang sangat tajam, mungkin bunyi itulah yang kudapati di hari ulang tahunku. Gema yang menemukan jejaknya sendiri.

Dari tengah malam sampai subuh Aku terjaga memandangi jendelaku. Gelap dikamarku membuat cahaya diluar sana cerkas dipusat mataku. Hampir subuh ketika Aku melihatnya memandangiku di kelokan jalan sempit dekat rumah kami. Dengan hati-hati dan langkah lunglai, Aku melihatnya menenteng sebuah rantang ditangannya untuk kemudian ditaruh didepan pintu rumahku yang tanpa pagar.

Aku terdiam untuk beberapa lama, terhenyak betapa sebuah ketulusan dari siluet bayang Ibuku akhirnya mulai menghapuskan siluet kebencianku kepadanya. Aku berlari kuat sebelum dia melangkah lebih jauh lagi.

Bermeter jarak kami dengan tanpa kasut dikakiku, Aku berteriak sekencang-kencangnya “Apa bisa minta kamu memandangku?” aku menutup mulutku menghentikan sengau tertahan yang meraung-raung disertai airmata dan terduduk di tanah lapang.

“Berbaliklah, Aku ingin memandangmu.” ratapku.

Ibuku berbalik badan menatapku dan berlari kecil ke hadapan wajahku. Akuselalumemandangimu, Akuselalumemandangimu, Akuselalumemandangimu. Gema itu berbunyi di kepalaku lebih keras.

Untuk pertama kali setelah segalanya, tatapan kami terkunci pada arah yang sama. Aku tidak tahu harus bereaksi bagaimana atas semuanya ini. Dia kemudian memelukku erat. Air mata menggenang di mata kami dan merasakannya mengalir turun dipipi, panas dan menyengat. Segala magma hati luruh dalam bulir-bulir air mata.

Hari itu aku menerima kado terindah dalam hidupku, kedamaian jiwa. Rantang di teras itu kubawa masuk di meja makan untuk kami santap bersama di subuh itu. Nasinya masih berasa asin, tetapi satu hal yang kujanjikan perlahan tapi pasti nasi itu suatu hari akan berasa manis di lidah kami. Akan ada banyak tawa dan kebahagiaan yang akan kami saling berikan, berbagi.

Mungkin kenangan akan semelekat nasi, tapi selama kami saling memandang, kami akan saling menolong untuk tak lagi menoleh ke belakang. Akuselalumemandangimu, Akuselalumemandangimu, Akuselalumemandangimu.

“Selamat ulang tahun, maafkan aku.” bisik Ibuku sambil menyusut mata air yang membasahi matanya. Mata kami bersidekap. Tak ada keraguan kusuapkan sendok pertama makanan di meja untuk Ibu sambil memandangnya lekat.

Itulah kami. Saling memandang. Menemukan cinta dan kedamaian jiwa.

Tidak ada komentar: