Senin, 23 Juni 2008

mencatat cacat dengan cat yang tak lagi pucat

Kami ditindas dalam segala hal, namun kami tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa" St. Paul

Helen Keller, Ludwig Van Beethoven, dan Ratna Indraswari Ibrahim mungkin saja tidak pernah bertatap muka. Dalam periode waktu yang berbeda, ketiga tokoh tersebut hanya dipersatukan oleh loncatan kuantum terbesar dalam sejarah hidup mereka masing-masing berupa 'kecacatan yang datangnya tiba-tiba'.

Helen Adams Keller mungkin tidak pernah menyangka dirinya yang lahir secara normal pada 27 Juni 1880 di suatu desa kecil di Nothwest Alabama, AS akan menjadi cacat. Tatkala menginjak usia 19 bulan Hellen jatuh sakit, penyakit yang kemudian diduga meningitis (namun sampai saat ini penyakit persisnya masih misterius) ini menyebabkannya kemudian kehilangan fungsi penglihatan dan pendengaran. Helen tumbuh menjadi seorang anak buta tuli, tumbuh sebagai anak yang sulit, dan temper tantrum.

Di bawah penanganan tepat dari gurunya, Anne Sulivan, yang juga memiliki cacat penglihatan jarak dekat, kekurangan-kekurangan Keller dapat teratasi. Ia dengan sangat mudah menangkap pelajaran yang diberikan, dan perkembangan kemajuan Keller yang sangat luar biasa menjadi buah bibir masyarakat. Ia dikenal sebagai penemu huruf Braille, metode membaca untuk orang buta. Hellen Keller adalah satu contoh konkrit anak cacat yang berbakat (handicapped gifted).

Helen Keller bukan satu-satunya orang yang mengalami kekagetan luar biasa saat mengalami kelumpuhan. Kisah yang sama turut menimpa Ludwig Van Beethoven, tokoh musik dan komponis jenius paling berpengaruh yang sukses merangkai sonata-simfoninya dengan komposisi instrumen.

Dibalik semua kesuksesannya dalam bermusik, Beethoven ternyata harus berjuang dengan penyakit pada pendengarannya yang mulai mengganggu dan pada tahun 1817 ia menjadi tuli sepenuhnya, yang membuatnya harus melepaskan karirnya sebagai pianis. Saat itulah ia meninggalkan Wina dan lebih banyak mengurung diri. Pada periode ini, Beethoven berhasil mencipta sebagian karya-karyanya yang terbesar.

Kisah patriotis kecacatan juga turut ditorehkan dari Tanah Air, Indonesia. Ratna Indraswari Ibrahim menuturkan cerita tentang dirinya dalam blog-nya dengan menyatakan demikian: "Saya mulai mengalami cacat tubuh pada usia sekitar 13 tahun, tapi prosesnya sejak saya berumur 10 tahun.” Tegasnya. Lebih lanjut Mbak Ratna menceritakan bahwa cacat tubuh yang menimpanya disebabkan oleh penyakit rachitis (radang tulang).

Maka tak heranlah, apabila Mbak Ratna punya foto dirinya ketika kondisi tubuhnya masih normal. Foto itu dipasang di kamarnya. Bahkan ada beberapa teman yang bercerita, ketika Mbak Ratna masih kecil dan tubuhnya belum cacat, punya hobi memanjat pohon seperti anak laki-laki. Ia anak yang amat dinamis. Nyatanya, Dia dapat menorehkan proses kreatifnya dalam mencipta ratusan cerpen dan buku dari atas kursi roda.

Merekam sejarah dan mencatatnya dari perspektif contoh ketiga tokoh tersebut membuat Aku berpikir bahwasanya ini bukan lagi tentang keterbatasan yang dikoar-koarkan atau malah digunakan sebagai senjata menarik simpati.

Ini tentang karya. Ini tentang pengalaman. Ini tentang kesederhanaan, penerimaan diri yang menyeluruh dan apa adanya. Ini tentang Hidup dan cara memaknainya.

Barangkali ini tentang semua catatan kecil yang akan Kita torehkan.

Catatan selama nafas masih dikehendaki menggelayut didada. Catatan pada siapa kita akan menceriterakan tentang diri kita di dunia. Mengenang kata bijak Eleanor Roosevelt : "Masa depan hanyalah milik orang-orang yang percaya pada keindahan mimpi-mimpi mereka."

Pada saat menulis blog ini Aku tidak hanya mencatat tetapi bermaksud menyebarkan catatan ini sebagai deskriptif dengan satu tujuan semata, yaitu menjadikan indah mimpi-mimpi buruk 'kecacatan', menjadikan kecacatan tak lagi gambaran pucat semata yang mengerus hidup tetapi pukulan telak bagi kita semua yang dianugerahi ke'normalan' raga.

Sebagai penutup izinkan saya mengutip kata-kata Si Buta Helen Keller sebagai permenungan kita semua, berikut :"Pabila Anda selalu menghadap ke matahari maka anda pun tidak akan melihat bayangan."

untuk Supriadi

Tidak ada komentar: