Selasa, 03 Juni 2008

my artist God is Superhero

Semerbak harum hio menyeruak masuk ke jendelaku pagi itu bercampur dengan hawa dingin subuh pagi itu. Adzan menggantung damai di udara, menyanyikan bahasa-bahasa aneh bin ajaib tapi tak jua terasa asing. Bilik sebelah Ibu sedang menyenandungkan doa syafaat meracau dengan berbagai permohonan, yang harusnya bisa dibisikkannya saja tanpa bunyi.

Subuh hampir selalu dibuka dengan kesibukan doa. Awalnya Nenek yang bangun awal pasti saja bersegera membuka pintu balkon menuju teras menyalakan hio bersedekap ke langit dan akhirnya turun ke halaman dimuka rumah melakukan ritual jalan paginya. Menyusul Nenek, suara adzan bersahutan berlomba dengan asap dupa hio nenek dibawa angin semilir subuh. Dan akhirnya ditutup oleh Ibu yang bersegera bangun dan mulai menyenandungkan doa syafaatnya.

Keluargaku memang multikompleks dalam hal agama dan oleh karenanya pembicaraan mengenai agama seperti disembunyikan dalam keyakinan anggota keluarga kami masing-masing. Nenekku yang masih menganut Agama Buddha, "paham lama dan sesat" begitu kata ibuku dahulu sambil berbisik, sedangkan Ibuku seorang penganut Kristen yang taat.

Ketaatan Ibu yang kalaulah dapat dikatakan terlalu fanatik membuatku kadang heran dan bertanya-tanya mengapa Ibu akhirnya mau dipersunting oleh Ayah yang mempunyai keyakinan Katolik. Nenekku hanya mendengus ketika Aku menanyakan itu sambil menjawab "terlalu yakin kadang membuatmu terlempar pada ketidakyakinan". Jawaban itu nyatanya tidak pernah dapat menjelaskan jawaban pertanyaanku.

Keluargaku yang multikompleks dalam hal kepercayaan pada akhirnya mempunyai kesepakatan yang sama dalam hal mengurai jawaban ketika Aku yang baru menginjak usia 8 tahun bertanya tentang keberadaan Tuhan. "Dimana Tuhan itu?" begitu tukasku dalam rasa ingin tahu. Ayah, Ibu dan Nenek selalu menunjuk ke arah yang sama dengan telunjuknya menggaris ke atas langit dan menguraikan bahwasanya Tuhan ada nun jauh melewati langit.

Sepolos usiaku kala itu akhirnya tersimpan dalam khayalku bahwasanya Tuhan itu seperti pahlawan hero kesayanganku, ultraman, yang selalu muncul dari balik awan-awan di bilur langit. Khayalanku bertambah dengan fantasi yang lebih berwarna ketika tahu Tuhan-nya Nenek bernama Buddha lain dengan Tuhan-nya Ibu yang bernama Jesus.

Tarik menarik itu semakin bertambah ketika satu persatu agama kuurutkan dan tahu bahwa Tuhan dalam agama lainnya juga bernama lain. Dalam suara mesjid dekat rumahku Nenek berkata bahwa Tuhan disana disebut Allah (baca: Awwah.red). Melalui kalender berwarna merah dengan tulisan Nyepi, Aku tahu agama Hindu dengan 3 Tuhan bernama Trimurti : Syiwa, Brahma dan Wisnu.

Akhirnya seperti barisan pahlawan hero power rangers kuurutkan Tuhan-Tuhan itu di luar langit. Buddha, Jesus, Allah, Syiwa dan kawan-kawannya menjejer dalam benak fantasiku semuanya dalam tampang biasa saja tetapi kutambahkan dengan bayangan-bayangan mistik kepunyaan mereka masing-masing.

Bagaikan punya fans sendiri Aku pun membayangkan bahwa ketika Nenek membakar hio sambil mengucap doa itu berarti Nenek fans sama Buddha, begitu pun dengan Ibu yang ngefans sama Jesus dan orang-orang yang menyuarakan adzan yang ngefans sama Allah.

Pikiran itu muncul ketika Aku dibawa Nenek ke Vihara ketika Hari Raya Waisak. Berjubel orang mengerumuni bangunan dengan patung seseorang yang duduk bersila yang disebut Nenek, Buddha. Tidak jauh berbeda dengan Ibu yang membawaku ke Gereja ketika Natal tiba dan mesjid dekat rumahku yang sesak padat oleh kerumunan orang.

Transformasi imajinasi yang tinggi menyebabkan Aku berkhayal bahwasanya pada Hari Raya Waisak, seperti pada acara-acara kontes idol-idolan Buddha lah yang keluar jadi pemenangnya. Jesus, Allah dan Trimurti harus kalah saing kalau boleh sarkatis, gigit jari melihat Sang Pemenang. Berimbang di hari raya lainnya Tuhan yang lain lah yang menjadi The Winner dan begitu seterusnya.

Beranjak dewasa fantasi-fantasi serupa kadang menyeruak di benak meski sebagai bahan lelucon saja. Ketika masalah sedang berlangsung dalam kehidupanku Tuhan-Tuhan tersebut muncul satu persatu untuk kudoakan berharap beroleh jalan. Keyakinan yang kupijak saat ini lebih menyerupai sebagai kewajiban untuk suatu prosedur formulir-formulir yang akan mengiringi hidupku.

Tanpa perlu dikatakan objek pujaanku kadang seperti fantasi ku semasa kecil masih bergurat seperti wajah-wajah power rangers yang memecahkan masalah-masalahku. Dan seperti anggota-anggota keluargaku lainnya masalah kepercayaan ini akhirnya kusembunyikan sebagai bagian dari wilayah pribadi.

Tak mengerti mengapa, kadang merasa lucu ketika orang-orang diluar sana berkoar-koar meributkan objek pujaannya. Membayangkan Tuhan seperti membayangkan sesosok artis dimana orang-orang menjadi fansnya dengan keyakinan menggebu-gebu. Sungguh tragis ketika Artis yang diasosiasikan dengan bermacam nama yang sesungguhnya satu sebutan Tuhan, dijadikan alat untuk membenarkan segala tindakan bernuansa anarkis dan separatis atau nuansa negatif lainnya.

Dan sebagai bahan pembelajaran di kompleks keluargaku yang menganut agama multikompleks pula, laiknya asap hio yang membumbung tinggi dimesra udara, ibarat bunyi adzan kala subuh dan suara doa Ibu yang akhirnya berpeluk mesra pada udara yang sama dengan hio nenek, begitu pula lah akhirnya keyakinan satu dan mesra, damai dalam diam tanpa embel-embel saya dan kamu.

Tidak ada komentar: