Minggu, 01 Juni 2008

empty god

Perwujudan Tuhan dengan segala tingkahnya menjadi wacana yang cukup seru untuk Aku dan kawan-kawan seperkuliahanku bahas malam kemarin. Topik itu mencuat seiring kisahku tentang kawanku yang beberapa waktu lalu saling berdebat dengan Aku. Melalui percakapan lewat telepon Aku dan Kawanku yang satu ini, (dalam hal ini seorang wanita.red) bercengkrama dan akhirnya percakapan terdorong lebih banyak pada arus yang mengetengahkan Tuhan.

Curahan hatipun kulakukan pada kawan-kawan sekuliahanku yang menanyakan bagaimana kondisi hubunganku dengan kawan wanitaku, apakah menunjukkan suatu perkembangan signifikan,dll. Pertanyaan itu kumentahkan dengan menyebut kawanku tadi terlalu banyak terpaku pada Tuhan sebagai Pusat, kalaulah tak boleh dibilang bias dan fanatik.

Berganti dominasi percakapan kemudian digilir oleh kawan-kawanku yang awam membicarakan tentang Tuhan dari segala sudut pandang mereka masing-masing. Dengan agak tercengang nyatanya pembahasan yang dikulik oleh orang-orang awam ini membuahkan suatu pemikiran yang lumayan cerdas dan brilian.

Berkat dan kutuk, anugerah dan musibah itulah yang selalu dihubungkan dengan kualitas Sang Pencipta. Pelbagai sifat Sang Allah itu ditunjukkan dan dibuat dengan historitas dan penyesuaian terhadap alam pikir manusia. Ke-Allah an yang seharusnya utuh menjadi terpecah dalam diri tiap-tiap insan. Bagaikan mengalami brain wash Tuhan dicitrakan dan dibudayakan sejak kita kecil hingga mengalami tahap kedewasaan.

Pembentukan citra Tuhan tidak pelak lagi akhirnya mengalami resiko pembenturan dengan berbagai nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Ambil contoh nilai Tradisi yang dianut umat Buddhis dan sebagian kalangan mengenai penghargaan terhadap leluhur dengan melakukan sembahyang menggunakan hio, dilihat dari kacamata agama tertentu kadangkala dianggap sebagai ritus penyembahan berhala.

Sulit memijak di garis mana sesuatu itu diabsahkan benar atau tidak, kala sesuatu menyangkut nilai yang berlaku dalam masyarakat. Tetapi secara garis besar, terus terang kaum awam ini tidak hanya menggunakan secuil otaknya untuk membedah agama akan tetapi menguliknya dari sisi pengalaman dan nurani.

Penuturan salah seorang kawanku merangkum pernyataan Tuhan dalam bahasa yang sederhana namun kompleks dalam kata. "Tuhan itu Abstrak" bunyinya. "Menomorsatukan Tuhan bisa jadi hal yang benar atau salah tergantung dari sisi mana kita memandang. Bagi saya, lanjutnya lagi, menomorsatukan keluarga atau orang-orang di sekeliling kita adalah langkah utama memaknai Tuhan, bukan dengan menomorsatukan Tuhan itu sendiri."

"Mengapa demikian?" tanyaku seketika.

"Ketika Aku ataupun kamu menghormati, menghargai dan menunjukkan cinta kasih kepada orang-orang disekeliling, sesuatu yang tersentuh atau tergenggam, maka itu lebih nyata, realistis ketimbang menomorsatukan sesuatu yang tidak pernah Aku ataupun Kamu tahu keberadaannya. Melakukan hal-hal bertema positif terhadap sesuatu yang ada disekitar yang wujudnya ada, faktual lebih dan lebih, pada ujungnya menunjukkan bahwasanya kita dapat melakukan hal yang sama terhadap sesuatu yang kita tak pernah lihat atau genggam yang kita asosiasikan bersama dan diberi label 'Tuhan'."

Ramai meributkan soal agama temanku yang laen berceloteh bahwasanya Tuhan bukan sesuatu untuk diperebutkan kebenarannya. Agama dan Tuhan kadangkala hanya dapat dijadikan penolong dan pencerah jiwa sesuatu yang disebutnya demikian "Buddha dalam hati, hati nurani".

Akhirnya kembali terhadap insan individu ketika Tuhan dan Agama dibasiskan menjadi satu kebenaran yang nyata tak pernah Ada dan hanya terangkum seperti kata kawan-kawan saya Tuhan itu abstrak, tak terlihat, tak tergenggam juga tak bisa dibahasakan, kadang terasa khayal tapi terkadang nyata adanya, hati nurani.

Dan untuk kalian semua kuposting artikel ini, Tuhan-Tuhan kecil dalam hidupku yang ketika kusatukan dari serakan pribadi masing-masing jua tak pernah utuh. Sekarang tak benar tahu ada tidaknya Tuhan dalam hidup tapi bukankah hidup itu proses dan sampai menutup mata Tuhan adalah proses PENCARIAN....

1 komentar:

Michael mengatakan...

sebuah cerita lisan yang ditulis sederhana dan lucu

sebuah pencarian yang tiada akhirnya, memaknai hidup dengan beberapa pilihan yang terbaik

banyak belajar dan selalu menjadi lebih baik dalam perbuatan dan tindakan sehari-hari, sudah cukup menjadikan kita ini manusia ber nurani

kekhilafan kadang menyertai, tapi tekad untuk berbuat baik dapat membantu menutupinya....

seperti kata orang-orang bijak, bahwa orang yang mempunyai sifat jahat bagaimanapun, pasti mempunyai setitik putih sifat baik dan sebaliknya orang yang baik, pasti mempunyai setitik hitam sifat jahat....